Pekerjaan Utama: Presiden Pemerintah
Darurat Republik Indonesia
Pejuang pada masa kemerdekaan Republik Indonesia ini
merupakan orang kepercayaan Soekarno-Hatta. Ia pernah diberi mandat untuk
membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI), pernah memegang
jabatan penting, seperti Gubernur Bank Indonesia, Menteri Keuangan, Menteri
Kemakmuran, dan Wakil Perdana Menteri.
Syafruddin Prawiranegara lahir di Banten, 28 Februari 1911. Syafruddin memiliki nama kecil "Kuding", berdarah campuran Banten dan Minangkabau. Buyutnya, Sutan Alam Intan, masih keturunan raja Pagaruyung di Sumatera Barat, yang dibuang ke Banten karena terlibat Perang Padri. Sutan kemudian menikah dengan putri bangsawan Banten. Dari perkawinan itu lahirlah kakek Syafruddin yang kemudian memiliki anak bernama R. Arsyad Prawiraatmadja yang tak lain merupakan ayah kandung Syafruddin. Arsyad bekerja sebagai jaksa yang dikenal cukup dekat dengan rakyat, karena alasan itulah Belanda kemudian mengasingkannya ke Jawa Timur.
Kuding,
yang gemar membaca kisah petualangan sejenis Robinson Crusoe, bercita-cita agar
suatu saat ia bisa menjadi "orang besar". Itulah sebabnya, setamat
dari sekolah Belanda setingkat SMA, AMS, Bandung, Syafruddin pindah ke Jakarta
demi melanjutkan studinya di Rechtshogeschool (Sekolah Tinggi Hukum) pada tahun
1939. Setelah beberapa tahun menuntut ilmu di sekolah yang sekarang dikenal
sebagai Fakultas Hukum Universitas Indonesia itu, Syafruddin berhasil meraih
gelar Meester in de Rechten, setara dengan Magister Hukum saat ini.
Syafruddin yang mendapat julukan "penyelamat
Republik" lalu memimpin PDRI. Dengan mengambil lokasi di suatu tempat di
daerah Sumatera Barat, untuk sementara ia menggantikan peran Soekarno-Hatta
menjalankan roda pemerintahan RI. Untuk memudahkan tugasnya sebagai Ketua PDRI,
Sjafruddin Prawiranegara membentuk kabinet yang terdiri dari beberapa orang
menteri. Meskipun jabatan yang disandangnya ketika itu "ketua", namun
kedudukannya sama dengan presiden.
Sekitar
tahun 1939-1940 saat pemerintah Belanda masih menguasai Indonesia, Syafruddin
bekerja sebagai pegawai siaran radio swasta, kemudian menjadi petugas
Departemen Keuangan Belanda hingga kekuasaan atas Indonesia berpindah ke tangan
Jepang di tahun 1942. Di masa penjajahan Jepang, Syafruddin bekerja sebagai
pegawai Departemen Keuangan Jepang.
Pasca
proklamasi berkumandang, ia menjabat sebagai anggota Badan Pekerja KNIP. KNIP
merupakan badan legislatif di Indonesia sebelum terbentuknya MPR dan DPR yang
diserahi kekuasaan legislatif dan ikut menetapkan Garis-garis Besar Haluan
Negara. Tahun 1946, Syafruddin mendapat kepercayaan untuk masuk dalam jajaran
kabinet sebagai Wakil Perdana Menteri. Masih di tahun yang sama, Syafruddin
diangkat menjadi Menteri Keuangan. Setahun berikutnya, ia menjabat sebagai
Menteri Kemakmuran.
Pada
19 Desember 1948, Belanda melancarkan Agresi Militer II, yang diawali dengan
serangan ke Yogyakarta, ibukota Republik Indonesia saat itu. Dalam peristiwa
tersebut, Presiden
Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta ditangkap dan diasingkan
Belanda ke Pulau Bangka. Untuk mengisi kosongnya kursi pemerintahan, Syafruddin
kemudian mendapat tugas untuk membentuk sekaligus bertindak selaku Ketua
Pemerintahan Darurat RI (PDRI) di Sumatera. Mandat tersebut disampaikan
Soekarno-Hatta lewat telegramnya yang berbunyi, "Kami, Presiden Republik
Indonesia memberitakan bahwa pada hari Minggu tanggal 19 Desember 1948 djam 6
pagi Belanda telah mulai serangannja atas Ibu-Kota Jogyakarta. Djika dalam
keadaan Pemerintah tidak dapat mendjalankan kewadjibannja lagi, kami
menguasakan kepada Mr Sjafruddin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran RI untuk
membentuk Pemerintahan Darurat di Sumatra".
Namun
karena sulitnya sistem komunikasi di masa itu, telegram tersebut tidak sampai
ke Bukittinggi. Beruntung, di saat yang bersamaan, begitu mendengar berita bahwa
tentara Belanda telah menduduki Ibukota Yogyakarta dan menangkap sebagian besar
pimpinan negara, Syafruddin langsung mengambil inisiatif senada. Ia kemudian
mengusulkan pembentukan suatu pemerintah darurat (emergency government) dalam
rapat di sebuah rumah dekat Ngarai Sianok, Bukittinggi, 19 Desember 1948.
Usulan tersebut juga mendapat persetujuan dari Gubernur Sumatra Mr TM Hasan,
demi menyelamatkan negara yang berada dalam bahaya akibat kosongnya kepala
pemerintahan.
Syafruddin
yang mendapat julukan "penyelamat Republik" lalu memimpin PDRI.
Dengan mengambil lokasi di suatu tempat di daerah Sumatera Barat, untuk
sementara ia menggantikan peran Soekarno-Hatta menjalankan roda pemerintahan
RI. Untuk memudahkan tugasnya sebagai Ketua PDRI, Sjafruddin Prawiranegara
membentuk kabinet yang terdiri dari beberapa orang menteri. Meskipun jabatan
yang disandangnya ketika itu "ketua", namun kedudukannya sama dengan
presiden.
PDRI
di bawah komando Syafruddin terus melakukan berbagai upaya agar para pemimpin
bangsa yang ditangkap Belanda bisa segera dibebaskan. Usahanya membuahkan hasil
dimana Belanda akhirnya terpaksa berunding dengan Indonesia. Usaha Belanda
untuk kembali menancapkan kekuasaannya di bumi pertiwi pun berakhir yang
ditandai dengan Perjanjian Roem-Royen. Soekarno-Hatta dan kawan-kawan akhirnya
dibebaskan dan kembali ke pusat pemerintahan di Yogyakarta.
Dengan bebasnya dwitunggal proklamator itu, tugas Sjafruddin
memimpin PDRI selama kurang lebih delapan bulan pun berakhir. Pada 13 Juli 1949
di Yogyakarta, ia menyerahkan mandatnya kepada Presiden
Soekarno. Serah terima pengembalian mandat dari PDRI secara resmi
dilakukan pada 14 Juli 1949 di Jakarta.
Setelah
meletakkan jabatannya sebagai Ketua PDRI, Syafruddin Prawiranegara menjabat
sebagai Wakil Perdana Menteri RI. Setelah itu ia ditunjuk menjadi menteri
keuangan Kabinet Hatta. Pada Maret 1950, selaku Menteri Keuangan, ia
melaksanakan pengguntingan uang dari nilai Rp 5 ke atas, sehingga nilainya
tinggal separuh. Sedangkan sisanya dipinjamkan kepada negara yang saat itu
sedang kesulitan dana. Kebijaksanaan moneter yang banyak dikritik itu dikenal
dengan julukan Gunting Syafruddin.
Rupanya
tak hanya rakyat Indonesia yang merasakan tajamnya Gunting Syafruddin, Tengku
Halimah Syehabuddin Prawiranegara, istri Syafruddin pun ikut terhenyak saat
menerima gaji suaminya yang tidak seberapa, juga harus ikut dipangkas. Untuk
menghidupi 8 anaknya, putri Tengku Raja Syehabuddin itu bahkan harus kas bon ke
Kementerian Keuangan. Utangnya terus menumpuk dan baru dilunasi saat Syafruddin
menjabat Presiden Direktur The Javasche Bank. Tahun 1951, The Javasche Bank
berganti nama menjadi Bank Sentral Indonesia, Syafruddin kemudian diangkat
menjadi Gubernurnya.
Seiring berjalannya pemerintahan Soekarno, banyak
ketimpangan-ketimpangan sosial yang terjadi di Indonesia, belum lagi pengaruh
komunis terutama PKI yang kian menguat. Keadaan itu pada akhirnya memunculkan
gerakan dari berbagai kalangan yang merasa tidak puas, tak terkecuali
Syafruddin. Bersama rekan-rekannya dari partai Masyumi, ia menentang Soekarno
yang membubarkan Konstituante.
Pada Februari 1958, gerakan pertentangan antara pemerintah
daerah dengan pemerintah pusat terus berlanjut yang ditandai dengan berdirinya
PRRI (Pasukan Revolusioner Republik Indonesia). Syafruddin kemudian diangkat
menjadi Presiden PRRI yang berbasis di Sumatera Tengah. Sebagai simbol perlawanan, PRRI kemudian menandatangani
Perjanjian Sungai Dareh. Menurut cerita salah seorang putri Syafruddin yang
bernama Vivi, ayahnya sebenarnya tidak ikut menandatangani perjanjian tersebut.
Namun karena Syafruddin memiliki sikap "sama-sama menanggung risiko"
jadilah dirinya sekeluarga turut mengalami hidup sebagai pemberontak.
Selama
4 tahun, Syafruddin beserta istri dan kedelapan anaknya terpaksa hidup di Hutan
Bukit Barisan yang letaknya memanjang dari Sungai Dareh Sumatera Barat hingga
Pinarik Tapanuli Utara Sumatera Selatan. Dalam kurun waktu itu, mereka harus
tinggal di sungai, lari terbirit-birit saat melewati hutan pacet, atau gemetar
ketakutan saat bertemu harimau dan safir. Pada Agustus 1958, perlawanan PRRI
dinyatakan berakhir dan pemerintah pusat di Jakarta berhasil kembali menguasai
wilayah-wilayah yang sebelumnya bergabung dengan PRRI. Berdasarkan Keputusan
Presiden RI No.449/1961 orang-orang yang tersangkut dengan pemberontakan
termasuk PRRI diberikan amnesti dan abolisi.
Setelah tak lagi terlibat dalam pemerintahan, tokoh Partai
Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia) ini memilih lapangan dakwah sebagai
tempat pengabdiannya. Namun, selama kiprahnya sebagai mubaligh, Syafruddin
berkali-kali dilarang naik mimbar lantaran ceramahnya dinilai terlalu keras.
Bahkan pada Juni 1985, ia sempat menjalani pemeriksaan sehubungan dengan isi
khotbahnya pada hari raya Idul Fitri 1404 H di masjid Al-A'raf, Tanjung Priok,
Jakarta Utara.
Selain
aktif menyebarkan syiar Islam, Syafruddin juga giat dalam berbagai kegiatan
yang berkaitan dengan pendidikan. Di samping pernah menjabat sebagai Ketua Korp
Mubalig Indonesia (KMI), ayah delapan anak ini juga pernah tercatat menjadi
Anggota Dewan Pengawas Yayasan Pendidikan & Pembangunan Manajemen (PPM),
serta Anggota Pengurus Yayasan Al Azhar/Yayasan Pesantren Islam. Tak hanya itu,
kakek belasan cucu ini juga sempat menyusun buku Sejarah Moneter, dengan
bantuan Oei Beng To, direktur utama Lembaga Keuangan Indonesia.
Meskipun berstatus sebagai mantan pejabat negara yang juga
turut membela kedaulatan RI, Syafruddin melalui masa tuanya dengan penuh
kesederhanaan. Ia bahkan pernah menolak sebuah rumah pemberian Presiden
Soekarno di Jalan Diponegoro No 10 Menteng, Jakarta Pusat.
Alasannya, ia tidak mau menerima sesuatu yang dibayar dari pajak rakyat. Satu-satunya rumah peninggalan Syafruddin adalah rumah yang
kini telah diwariskan kepada anak-anaknya yang berlokasi di Gedung Hijau Raya
Pondok Indah Jakarta Selatan di mana ia menutup mata.
Syafruddin
Prawiranegara meninggal dunia di usia 77 tahun, pada 15 Februari 1989.
Jenazahnya dikebumikan di TPU Tanah Kusir, Jakarta Selatan. Atas jasa-jasanya
pada negara, pemerintah RI menganugerahkannya gelar Pahlawan Nasional pada
tahun 2011. Pemberian gelar tersebut dilakukan Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono di Istana Negara, Jakarta Pusat, kepada ahli waris
Syafruddin yang diwakili kedua anaknya, Rasyid dan Aisyah Prawiranegara. muli,
red
ENSIKLOPEDI TOKOH INDONESIA
Syafruddin Prawiranegara
Nama: Syafruddin
Prawiranegara
Lahir: Banten, 28
Februari 1911
Pekerjaan: Presiden
Pemerintah Darurat Republik Indonesia
Meninggal: Jakarta, 15
Februari 1989
Makam: TPU Tanah Kusir,
Jakarta Selatan
Agama: Islam
Istri: Tengku Halimah
Syehabuddin Prawiranegara
Anak:
- Aisyah
- Rasyid
- Faridah
- Salviyah
- Farid
- Chalid
- Yazid
- Chalida
Pendidikan:
- Rechtshogeschool, Jakarta, 1939
- AMS, Bandung, 1931
- MULO,Madiun, 1928
- ELS, 1925
Karir:
- Ketua Korps Mubalig Indonesia, 1984-1989
- Anggota Pengurus Yayasan Al Azhar/Yayasan Pesantren Islam, 1978
- Pimpinan Masyumi, 1960
- Anggota Dewan Pengawas Yayasan Pendidikan & Pembangunan Manajemen (PPM), 1958
- Gubernur Bank Sentral/Bank Indonesia, 1951
- Menteri Keuangan, 1949-1950
- Wakil Perdana Menteri RI, 1949
- Presiden Pemerintah Darurat RI, 1948
- Perdana Menteri RI, 1948
- Menteri Kemakmuran, 1947
- Menteri Keuangan, 1946
- Wakil Menteri Keuangan, 1946
- Anggota Badan Pekerja KNIP, 1945
- Pegawai Departemen Keuangan Jepang
- Petugas Departemen Keuangan Belanda, 1940-1942
- Pegawai Siaran Radio Swasta, 1939-1940
Buku:
Sejarah Moneter
Prestasi &
Penghargaan:
Gelar Pahlawan Nasional
dari Pemerintah RI, 2011
Pusat Data Tokoh
Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
wilujeng ngawangkong