Proklamator, Presiden RI Pertama
(1945-1966)
Soekarno (Bung Karno) Presiden
Pertama Republik Indonesia, 1945- 1966, menganut ideologi pembangunan 'berdiri
di atas kaki sendiri'. Proklamator yang lahir di Blitar, Jatim, 6 Juni 1901 ini
dengan gagah mengejek Amerika Serikat dan negara kapitalis lainnya: "Go to
hell with your aid." Persetan dengan bantuanmu.
Ia
mengajak negara-negara sedang berkembang (baru merdeka) bersatu. Pemimpin Besar
Revolusi ini juga berhasil menggelorakan semangat revolusi bagi bangsanya,
serta menjaga keutuhan NKRI.
Tokoh
pencinta seni ini memiliki slogan yang kuat menggantungkan cita-cita setinggi
bintang untuk membawa rakyatnya menuju kehidupan sejahtera, adil makmur.
Ideologi pembangunan yang dianut pria yang berasal dari keturunan bangsawan
Jawa (Ayahnya bernama Raden Soekemi Sosrodihardjo, suku Jawa dan ibunya bernama
Ida Ayu Nyoman Rai, suku Bali), ini bila dilihat dari buku Pioneers in
Development, kira-kira condong menganut ideologi pembangunan yang dilahirkan
kaum ekonom yang tak mengenal kamus bahwa membangun suatu negeri harus mengemis
kepada Barat. Tapi bagi mereka, haram hukumnya meminta-minta bantuan asing.
Bersentuhan dengan negara Barat yang kaya, apalagi sampai meminta bantuan,
justru mencelakakan si melarat (negara miskin).
Bagi,
yang ketika kecil bernama Kusno, ini tampaknya tak ada kisah manis bagi
negara-negara miskin yang membangun dengan modal dan bantuan asing. Semua tetek
bengek manajemen pembangunan yang diperbantukan dan arus teknologi modern yang
dialihkan — agar si miskin jadi kaya dan mengejar Barat — hanyalah alat
pengisap kekayaan si miskin yang membuatnya makin terbelakang.
Itulah yang berhasil menggelorakan
semangat revolusi dan mengajak berdiri di atas kaki sendiri bagi bangsanya,
walaupun belum sempat berhasil membawa rakyatnya dalam kehidupan yang
sejahtera. Konsep "berdiri di atas kaki sendiri" memang belum
sampai ke tujuan tetapi setidaknya berhasil memberikan kebanggaan pada
eksistensi bangsa. Daripada berdiri di atas utang luar negeri yang
terbukti menghadirkan ketergantungan dan ketidakberdayaan (neokolonialisme).
Masa
kecil sudah diisi semangat kemandirian. Ia hanya beberapa tahun hidup bersama
orang tua di Blitar. Semasa SD hingga tamat, ia tinggal di Surabaya, indekos di
rumah Haji Oemar Said Tjokroaminoto, kawakan pendiri Syarikat Islam. Kemudian
melanjut di HBS (Hoogere Burger School). Saat belajar di HBS itu ia pun telah
menggembleng jiwa nasio-nalismenya. Selepas lulus HBS tahun 1920, ia pindah ke
Bandung dan me-lanjutkan ke THS (Technische Hooge-school atau Sekolah Tekhnik
Tinggi yang sekarang menjadi ITB). Ia berhasil meraih gelar "Ir" pada
25 Mei 1926.
Kemudian,
ia merumuskan ajaran Marhaenisme dan mendirikan PNI (Partai Nasional lndonesia)
pada 4 Juli 1927, dengan tujuan Indonesia Merdeka. Akibatnya, Belanda, si
penjajah, menjebloskannya ke penjara Sukamiskin, Bandung pada 29 Desember 1929.
Delapan bulan kemudian baru disidangkan. Dalam pembelaannya berjudul 'Indonesia
Menggugat', dengan gagah berani ia menelanjangi kebobrokan Belanda, bangsa yang
mengaku lebih maju itu.
Pembelaannya
itu membuat Belanda makin marah. Sehingga pada Juli 1930, PNI pun dibubarkan.
Setelah bebas (1931), Bung Karno bergabung dengan Partindo dan sekaligus
memimpinnya. Akibatnya, ia kembali ditangkap Belanda dan dibuang ke Ende,
Flores, tahun 1933. Empat tahun kemudian dipindahkan ke Bengkulu.
Setelah
melalui perjuangan yang cukup panjang, Bung Karno dan memproklamasikan pada 17
Agustus 1945. Sebelumnya, ia juga berhasil merumuskan Pancasila yang kemudian
menjadi dasar (ideologi) Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ia berupaya
mempersatukan nusantara. Bahkan ia berusaha menghimpun bangsa-bangsa di Asia,
Afrika, dan Amerika Latin dengan Konferensi Asia Afrika di Bandung pada 1955
yang kemudian berkembang menjadi Gerakan Non Blok.
Pemberontakan
G-30-S/PKI melahirkan krisis politik sangat hebat. Ia pun tak mau membubarkan
PKI yang dituduh oleh mahasiswa dan TNI sebagai dalang kekejaman pembunuh para
jenderal itu. Suasana politik makin kacau. Sehingga pada 11 Maret 1966 ia
mengeluarkan surat perintah kepada untuk mengendalikan situasi, yang kemudian
dikenal dengan sebutan Supersemar. Tapi, inilah awal kejatuh-annya. Sebab
menggunakan Supersemar itu membubarkan PKI dan merebut simpati para dan
mahasiswa serta 'merebut' kekuasaan. MPR mengukuhkan Supersemar itu dan menolak
pertanggungjawaban Soekarno serta mengangkat sebagai Pejabat Presiden.
Kemudian
Bung Karno 'dipenjarakan' di Wisma Yaso, Jakarta. Kesehatannya terus memburuk.
Akhirnya, pada hari Minggu, 21 Juni 1970 ia meninggal dunia di RSPAD. Ia
disemayamkan di Wisma Yaso, Jakarta dan dimakamkan di Blitar, Jawa Timur di
dekat makam ibundanya, Ida Ayu Nyoman Rai. Paduka Yang Mulia Pemimpin Besar
Revolusi ini meninggalkan 8 orang anak.
Dari mendapatkan lima anak yaitu Guntur, Megawati, Rachmawati, Sukmawati, dan
Guruh. Dari Hartini mendapat dua
anak yaitu Taufan dan Bayu. Sedangkan dari Ratna
Sari Dewi, turunan Jepang bernama asli Naoko Nemoto mendapatkan seorang
putri yaitu Kartika.
Orator Ulung
Presiden
pertama RI itu pun dikenal sebagai orator yang ulung, yang dapat berpidato
secara amat berapi-api tentang revolusi nasional, neokolonialis-me dan imperialisme.
Ia juga amat percaya pada kekuatan massa, kekuatan rakyat.
"Aku ini bukan apa-apa kalau tanpa rakyat. Aku besar
karena rakyat, aku berjuang karena rakyat dan aku penyambung lidah
rakyat," kata Bung Karno, dalam karyanya 'Menggali Api Pancasila'. Suatu
ungkapan yang cukup jujur dari seorang orator besar.
Gejala
berbahasa Bung Karno merupakan fenomena langka yang mengundang kagum banyak
orang. Kemahirannya menggunakan bahasa dengan segala macam gayanya berhubungan
dengan kepribadiannya. Hal ini tercermin dalam autobiografi, karangan-karangan
dan buku-buku sejarah yang memuat sepak terjangnya.
Ia
adalah seorang cendekiawan yang meninggalkan ratusan karya tulis dan beberapa
naskah drama yang mungkin hanya pernah dipentaskan di Ende, Flores. Kumpulan tulisannya
sudah diterbitkan dengan judul "Dibawah Bendera Revolusi", dua jilid.
Jilid pertama boleh dikatakan paling menarik dan paling penting karena mewakili
diri Soekarno sebagai Soekarno.
Dari
buku setebal kira-kira 630 halaman tersebut tulisan pertama yang bermula dari
tahun 1926, dengan judul "Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme"
adalah paling menarik dan mungkin paling penting sebagai titik-tolak dalam
upaya memahami Soekarno dalam gelora masa mudanya, seorang pemuda berumur 26
tahun.
Di
tengah kebesarannya, sang orator ulung dan penulis piawai, ini selalu
membutuhkan dukungan orang lain. Ia tak tahan kesepian dan tak suka tempat
tertutup.
Di
akhir masa kekuasaannya, ia sering merasa kesepian. Dalam autobio-grafinya yang
disusun oleh Cindy Adams, Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat itu, bercerita.
"Aku tak tidur selama enam tahun. Aku tak dapat tidur barang sekejap.
Kadang-kadang, di larut malam, aku menelepon seseorang yang dekat denganku
seperti misalnya Subandrio, Wakil Perdana Satu dan kataku, 'Bandrio datanglah
ke tempat saya, temani saya, ceritakan padaku sesuatu yang ganjil, ceritakanlah
suatu lelucon, berceritalah tentang apa saja asal jangan mengenai politik. Dan
kalau saya tertidur, maafkanlah.... Untuk pertama kali dalam hidupku aku mulai makan
obat tidur. Aku lelah. Terlalu lelah."
Dalam
bagian lain disebutkan, "Ditinjau secara keseluruhan maka jabatan presiden
tak ubahnya seperti suatu pengasingan yang terpencil... Seringkali pikiran
oranglah yang berubah-ubah, bukan pikiranmu... Mereka turut menciptakan pulau
kesepian ini di sekelilingmu."
Anti
Imperialisme
Pada
17 Mei 1956. Bung Karno mendapat kehormatan menyampaikan pidato di depan
Kongres Amerika Serikat. Sebagaimana dilaporkan New York Times (halaman
pertama) pada hari berikutnya, dalam pidato itu dengan gigih ia menyerang
kolonialisme.
"Perjuangan
dan pengorbanan yang telah kami lakukan demi pembebasan rakyat kami dari
belenggu kolonialisme, telah berlangsung dari generasi ke generasi selama
berabad-abad. Tetapi, perjuangan itu masih belum selesai. Bagaimana perjuangan
itu bisa dikatakan selesai jika jutaan manusia di Asia maupun Afrika masih
berada di bawah dominasi kolonial, masih belum bisa menikmati
kemerdekaan?" pekik Soekarno ketika itu.
Hebatnya,
meskipun pidato itu dengan keras menentang kolonialisme dan imperialisme, serta
cukup kritis terhadap negara-negara Barat, ia mendapat sambutan luar biasa di
Amerika Serikat (AS).
Pidato
itu menunjukkan konsistensi pemikiran dan sikap-sikap Bung Karno yang sejak
masa mudanya antikolonialisme. Terutama pada periode 1926-1933, semangat
antikolonialisme dan anti-imperialisme itu sudah jelas dikedepankannya.
Sangat
jelas dan tegas ingatan kolektif dari pahitnya kolonialisme yang dilakukan
negara asing yang kaya itu. Namun, kata dan fakta adalah dua hal yang berbeda,
dan tak jarang saling bertolak belakang.
Soekarno
dan para penggagas nasionalisme lainnya dipaksa bergulat di antara
"kata" dan "fakta" politik yang dicoba dirajut namun
ternyata tidak mudah, dan tak jarang menemui jalan buntu.
Soekarno
yang rajin berkata-kata, antara lain mengenai gagasan besarnya menyatukan kaum
nasionalis, agama dan komunis (1926) menemukan kenyataan yang sama sekali
bertolak belakang, ketika ia mencobanya menjadi fakta. Begitu pula gagasan
besarnya yang lain: marhaenisme, atau nasionalisme marhaenistis, yang matang
dikonsepsikan pada tahun 1932. Bahkan, gagasannya mengenai Pancasila.
Tokoh
Kontroversial
Sebagai
sosok yang memiliki prinsip tegas, Bung Karno kerap dianggap sebagai tokoh
kontroversial. Maka tak heran jika dia memiliki lawan maupun kawan yang berani
secara terang-terangan mengritik maupun membela pandangannya. Di mata
lawan-lawan politiknya di Tanah Air, ia dianggap mewakili sosok kaum abangan
yang "kurang islami". Mereka bahkan menggolongkannya sebagai gembong
kelompok "nasionalis sekuler".
Akan
tetapi, di mata Syeikh Mahmud Syaltut dari Cairo, penggali Pancasila itu adalah
Qaida adzima min quwada harkat al-harir fii al-balad al-Islam (Pemimpin besar
dari gerakan kemerdekaan di negeri-negeri Islam). Malahan, Demokrasi Terpimpin,
yang di dalam negeri diperdebatkan, justru dipuji oleh syeikh al-Azhar itu
sebagai, "lam yakun ila shuratu min shara asy syuraa' allatiy ja'alha
al-Qur'an sya'ana min syu'un al-mu'minin" (tidak lain hanyalah salah satu
gambaran dari permusyawaratan yang dijadikan oleh Al Quran sebagai dasar bagi
kaum beriman).
Tatkala
memuncak ketegangan antara Israel dan negara-negara Arab soal status Palestina
ketika itu, pers sensasional Arab menyambut Bung Karno, "Juara untuk
kepentingan-kepentingan Arab telah tiba". Begitu pula, Tahta Suci Vatikan
memberikan tiga gelar penghargaan kepada presiden dari Republik yang mayoritas
Muslim itu.
Memang,
pembelaan Bung Karno terhadap kaum tertindas tidak hanya untuk negerinya namun
juga negeri lain. Itulah sebabnya, mengapa ia dipuja habis oleh bangsa Arab
yang tengah menghadapi serangan Israel kala itu. Bung Karno dianggap sebagai
pemimpin kaum Muslim. Padahal, di dalam negeri sendiri ia kerap dipandang lebih
sebagai kaum abangan daripada kaum santri.
Sebenarnya,
seberapa religiuskah Bung Karno? Bukankah ia juga dalam konsepsi Pancasila
merumuskan sila Ketuhanan Yang Maha Esa? Sila yang menunjukkan bahwa bangsa
Indonesia adalah bangsa yang religius. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang
majemuk dan mengakui lima agama. Bagaimana mungkin merangkum visi lima agama
itu dalam satu kalimat yang mendasar itu kalau si pembuat kalimat tidak
memahami konteks kehidupan beragama di Indonesia secara benar?
Dalam
hal ini elok dikutip pendapat Clifford Geertz Islam Observed (1982): "Gaya
religius Soekarno adalah gaya Soekarno sendiri." Betapa tidak? Kepada
Louise Fischer, Bung Karno pernah mengaku bahwa ia sekaligus Muslim, Kristen,
dan Hindu. Di mata pengamat seperti Geertz, pengakuan semacam itu dianggap sebagai
"bergaya ekspansif seolah-olah hendak merangkul seluruh dunia".
Sebaliknya, ungkapan semacam itu-pada hemat BJ Boland dalam The Struggle of
Islam in Modern Indonesia (1982)- "hanya merupakan perwujudan dari
perasaan keagamaan sebagian besar rakyat Indonesia, khususnya Jawa". Bagi
penghayatan spiritual Timur, ucapan itu justru "merupakan keberanian untuk
menyuarakan berbagai pemikiran yang mungkin bisa dituduh para agamawan formalis
sebagai bidah".
Sistem
Politik
Soekarno
memiliki pandangan mengenai sistem politik yang didukungnya adalah yang paling
"cocok" dengan "kepribadian" dan "budaya" khas
bangsa Indonesia yang konon mementingkan kerja sama, gotong-royong, dan
keselarasan. Dalam retorika, ia mengecam "individualisme" yang
katanya lahir dari liberalisme Barat. Individualisme itu melahirkan egoisme,
dan ini terutama dicerminkan oleh pertarungan antarpartai.
Lalu
ia mencetuskan Demokrasi Terpimpin. Dalam berpolitik Soekarno mementingkan
politik mobilisasi massa, ia bersimpati pada gerakan-gerakan anti-imperialisme,
dan mungkin sebagai salah satu konsekuensinya, penerimaannya pada Partai
Komunis Indonesia (PKI) sebagai aktor politik yang sah, pendukung konsepsi
demokrasi terpimpin. Jadi ia mencanangkan sistem politik yang berwatak
anti-liberal dan curiga pada politik. Ia mementingkan "persatuan"
demi "revolusi".
Pada
tahun 1950-an, Indonesia memang ditandai oleh ketidakstabilan politik yang
disebabkan oleh sistem demokrasi parlementer. Sistem ini bersifat sangat
liberal, dan didominasi oleh partai-partai politik yang menguasai parlemen.
Pemilu 1955-yang dimenangkan empat kekuatan besar, Masyumi, Partai Nasional
Indonesia (PNI), (NU) serta PKI- hingga kini masih dianggap sebagai pemilu
paling bebas dan bersih yang pernah dilaksanakan sepanjang masa. Namun, di sisi
lain dari sistem parlemen yang dikuasai partai itu adalah sering jatuh
bangunnya kabinet yang dipimpin oleh perdana Menteri. Selain itu, sejarah juga
mencatat bahwa integritas nasional terus-menerus diancam oleh berbagai gerakan,
yakni DI/TI, PRRI/Permesta, dan sebagainya.
Kenyataan
ini membuat Soekarno makin curiga pada partai politik karena dia menganggap
Masyumi, dan juga PSI, terlibat dalam beberapa pemberontakan daerah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
wilujeng ngawangkong