Pekerjaan Utama: Sastrawan, pejuang,
politikus
Dari sekian banyak bentuk perjuangannya, yang paling melekat
dengan sosok Pahlawan Nasional ini adalah perannya sebagai perumus ikrar Sumpah
Pemuda yang lahir dari Kongres Pemuda II, 28 Oktober 1928. Ia juga aktif
sebagai sastrawan dan politisi serta pernah memangku sejumlah jabatan penting
dalam pemerintahan, antara lain Menteri Kehakiman (1951), Menteri Pengajaran,
Pendidikan dan Kebudayaan (1953-1955), Ketua Dewan Perancang Nasional (1962),
dan Ketua Dewan Pengawas IKBN Antara (1961-1962).
Muhammad Yamin dilahirkan di Sawahlunto, Sumatera Barat,
pada 23 Agustus 1903. Yamin merupakan putra pasangan Usman yang bergelar
Bagindo Khatib dengan perempuan asal Padang Panjang bernama Siti Sa'adah. Yamin
yang berdarah Minang kemudian menikah dengan seorang wanita Jawa bernama Raden
Ajeng Sundari Merto Amodjo pada 1934. Dari hasil pernikahan beda suku tersebut,
pasangan ini dikaruniai seorang putra bernama Dang Rahadian Sinajangsih Yamin.
Meski
lahir di zaman kolonial, Yamin termasuk salah satu dari segelintir orang yang
beruntung karena mendapat kesempatan untuk mengenyam pendidikan hingga tingkat
tinggi. Boleh jadi ini disebabkan oleh kedudukan sang ayah sebagai mantri kopi,
jabatan yang pada masa penjajahan Belanda tergolong cukup terpandang.
Yamin
menempuh pendidikan dasarnya di Hollands Inlands School (HIS) di Palembang,
kemudian ia tercatat sebagai peserta kursus pada Lembaga Pendidikan Peternakan
dan Pertanian di Cisarua, Bogor, selama lima tahun. Setelah itu dilanjutkan ke
sekolah Belanda setingkat SMA yang dulu dikenal dengan sebutan Algemene
Middelbare School (AMS) di Yogyakarta. Di sekolah tersebut, ia mempelajari
bahasa Yunani, bahasa Latin, bahasa Kaei, dan sejarah purbakala.
Yamin
yang tergolong siswa cerdas berhasil menguasai empat mata pelajaran tersebut
hanya dalam tempo tiga tahun saja. Dalam mempelajari bahasa Yunani, Yamin
banyak menimba ilmu dari pastor-pastor di Seminari Yogya, sedangkan untuk
bahasa Latin, ia banyak dibantu Prof. H. Kraemer dan Ds. Backer. Studi di AMS
merupakan persiapan Yamin untuk mempelajari kesusastraan Timur di Leiden,
Belanda.
Setelah
tamat AMS, Yamin pun bersiap-siap berangkat ke Leiden. Akan tetapi, sebelum
sempat berangkat, sebuah telegram dari Sawahlunto mengabarkan bahwa ayahnya
meninggal dunia. Karena itu, kandaslah cita-cita Yamin untuk belajar di Eropa
sebab uang peninggalan ayahnya hanya cukup untuk belajar lima tahun di sana.
Padahal, belajar kesusastraan Timur membutuhkan waktu tujuh tahun.
Setelah
gagal sekolah ke luar negeri, Yamin melanjutkan studi ke Recht Hogeschool (RHS)
di Jakarta dan berhasil mendapatkan gelar Meester in de Rechten (Sarjana Hukum)
pada tahun 1932. Dengan gelar tersebut, Yamin menjalani profesinya sebagai
seorang advokat di Jakarta hingga tahun 1942.
Pelopor
Soneta
Pendidikan
dasar hingga tingkat tinggi yang dilaluinya di sekolah Belanda, membuat Yamin
banyak menyerap kesusastraan asing. Akan tetapi sebagai seorang intelektual, ia
tidak begitu saja menelan segala hal yang didapatnya, melainkan memadukan
konsep sastra Barat dengan gagasan budaya Indonesia yang nasionalis.
Mungkin
hal tersebut dipengaruhi oleh lingkungan keluarganya, mengingat kedua orangtua
Yamin adalah keturunan kepala adat di Minangkabau. Oleh karena itu, tak heran
bila sejak kecil hingga beranjak remaja, Yamin dibekali pendidikan adat dan
agama. Sehingga ia tidak hanyut begitu saja oleh hal-hal yang pernah
diterimanya, baik itu berupa karya-karya sastra maupun sistem pendidikan Barat
yang dipelajarinya. Prinsip itulah yang terus dipertahankannya termasuk saat
menjalani perannya sebagai seorang sastrawan.
Yamin juga dikenal sebagai penyair yang pertama kali
menggunakan bentuk soneta di tahun 1921 sekaligus pelopor Angkatan Pujangga Baru
yang secara resmi berdiri tahun 1933. Kerinduan terhadap tanah kelahirannya
sewaktu ia merantau ke Jawa, kecintaannya pada tanah kelahirannya dan masa
lampau, menjadikan karyanya berciri romantis dan sentimentil, penuh kata-kata
indah yang sebagian diantaranya diambil dari bahasa daerahnya, Minangkabau.
Di
dunia sastra, nasionalisme seorang Muhammad Yamin dibuktikan dengan menghindari
pemakaian kata-kata Barat-Belanda. Sikapnya ini telah dipegang sejak ia
memimpin majalah Jong Sumatra. Meski pada kenyataaannya, dalam majalah itu
terdapat dua kubu yang berbeda pendapat soal bahasa pengantar yang akan
digunakan. Di satu sisi, kubu pimpinan Dr. M. Amir menghendaki Bahasa Belanda.
Sementara kubu Yamin ingin memakai bahasa Melayu. Jejak Yamin menggunakan bahasa
Melayu kemudian diikuti oleh Sanusi Pane
dan M. Hatta yang menulis soneta bertajuk Beranta Indera dalam majalah Jong Sumatra
edisi November 1921.
Ayah
satu anak ini pertama kali muncul sebagai penyair di tahun 1922 dengan puisi
berjudul Tanah Air, terdiri dari 30 bait dan tiap bait terdiri 9 baris. Yang
dimaksud "Tanah Air" di sini ialah Sumatera. "Tanah Air"
yang kini tersimpan di Pusat Dokumentasi HB Jassin
ini merupakan kumpulan puisi modern Melayu pertama yang pernah diterbitkan.
Sebagai
penyair, gaya puisi Yamin masih terikat pada pola pantun dan syair yang masih
menekankan persamaan bunyi, sehingga kadang memasang kata-kata yang tidak perlu
hanya sekadar memenuhi syarat bilangan kata dan sajak akhir saja. Namun
demikian, Yamin dengan ciri khasnya tersebut berhasil memperbaharui puisi lama.
Pembaharuannya terletak pada variasi sajak akhir dan jumlah baris.
Yamin
juga dikenal sebagai penyair yang pertama kali menggunakan bentuk soneta di
tahun 1921 sekaligus pelopor Angkatan Pujangga Baru yang secara resmi berdiri
tahun 1933. Kerinduan terhadap tanah kelahirannya sewaktu ia merantau ke Jawa,
kecintaannya pada tanah kelahirannya dan masa lampau, menjadikan karyanya
berciri romantis dan sentimentil, penuh kata-kata indah yang sebagian diantaranya
diambil dari bahasa daerahnya, Minangkabau.
Kumpulan
puisi karya Yamin berikutnya berjudul Tumpah Darahku yang terdiri dari 88 bait
dan tiap bait terdiri dari 7 baris. Puisi tersebut ditampilkan pada 28 Oktober
1928, bertepatan dengan peristiwa bersejarah yakni Kongres Sumpah Pemuda. Karya
ini menjadi amat penting karena pada momen itu, Yamin dan beberapa orang
pejuang memutuskan untuk bertanah air, berbangsa, dan berbahasa satu,
Indonesia.
Dalam
Tumpah Darahku, Yamin tak lagi menyanyikan Pulau Perca atau Sumatera saja,
melainkan menyanyikan kebesaran dan keagungan sejarah berbagai kerajaan dan
suku bangsa di Nusantara seperti kerajaan Majapahit, Sriwijaya, dan Pasai.
Semua itu terlukis dalam sajak-sajaknya. Dalam salah satu baitnya, Yamin
mengatakan: "….. kita sedarah sebangsa/Bertanah air di Indonesia". Di
tahun yang sama, Yamin meluncurkan sebuah drama yang berdasarkan sejarah Jawa
dengan judul Ken Arok dan Ken Dedes.
Yamin
juga menaruh minat pada sejarah, terutama sejarah nasional. Karena baginya sejarah
adalah salah satu cara mewujudkan cita-cita Indonesia Raya. Dua karya Yamin
yang mengangkat tema sejarah adalah Gadjah Mada (1946) dan Pangeran Diponegoro
(1950). Selain puisi, drama, dan novel sejarah, Yamin juga banyak menerbitkan
esai, serta menerjemahkan karya-karya pujangga dunia seperti drama Julius
Caesar karya William Shakespeare, serta dua karya milik sastrawan India
Rabindranath Tagore yang masing-masing berjudul Menantikan Surat dari Raja dan
Di Dalam dan di Luar Lingkungan Rumah Tangga.
Kiprah
Sebagai Politikus
Semangat
nasionalisme Muhammad Yamin sudah mulai berkobar sejak duduk di bangku kuliah
dengan aktif berjuang melawan penjajah lewat sejumlah organisasi yang akhirnya
membawanya ke panggung politik. Tahun 1926-1928, Yamin ditunjuk menjadi ketua
Jong Sumatera Bond. Ketertarikannya terhadap pergerakan kepemudaan berawal saat
salah seorang anggota Jong Soematraen Bond bernama Nazir Dt. Pamuntjak datang
ke Padang.
Nazir
yang ketika itu hendak berangkat ke Belanda untuk bersekolah, pelayarannya
terhambat karena Perang Dunia I (1914-1918). Ia kemudian menunda
keberangkatannya dan pulang ke Padang. Saat itulah Nazir memberikan penjelasan
tentang rencana pendirian cabang Jong Soematraen Bond di Padang dan
Bukittinggi. Dibantu Mohammad Taher Marah Sutan, Nazir menyelenggarakan rapat
dengan para pemuda pelajar di gedung Syarikat Usaha di Padang. Dalam rapat
tersebut, Nazir berpidato menggunakan bahasa Belanda. Sebab, saat itu bahasa
Indonesia belum lazim dipergunakan.
Dalam
pidatonya, ia memberikan semangat kepada para pemuda pelajar Sumatera untuk
segera bangkit. Kebangkitan tersebut ditandai dengan mendirikan perkumpulan
atau organisasi kepemudaan. Pidato Nazir saat itu berhasil menggugah semangat
berjuang para pemuda yang ditandai dengan berdirinya cabang Jong Soematraen
Bond di Padang dan Bukittinggi.
Di
perkumpulan pemuda se-Sumatera itulah, Yamin mulai meniti karirnya di bidang
organisasi bersama dengan Mohammad Hatta yang kelak menjadi wakil presiden RI
yang pertama. Jong Soematraen Bond kemudian berubah nama menjadi Pemuda
Sumatera.
Dari
sekian banyak bentuk perjuangannya, yang paling melekat dengan sosok Muhammad
Yamin adalah perannya sebagai perumus ikrar Sumpah Pemuda yang lahir dari
Kongres Pemuda II pada 28 Oktober 1928. Kongres tersebut dihelat setelah
pemuda-pemudi dari berbagai daerah berkumpul dan menyatakan keinginannya untuk
bersatu. Selain itu, semangat persatuan bangsa juga digaungkan Perhimpunan
Indonesia di Belanda. Yamin berpandangan bahwa masa depan Indonesia akan
direkatkan oleh satu bahasa, yakni bahasa Indonesia.
Kemudian
dalam pidatonya, Yamin menyampaikan pesan untuk generasi muda, yakni ada hak
bagi para pemuda Indonesia untuk mendekatkan diri dengan tanah airnya, dengan
bangsanya yang telah melahirkannya. Pemuda merupakan tempat yang sebaik-baiknya
untuk menanam segala cita-cita dan tujuan, di dalam dada pemuda tersimpan
kemauan zaman baru, zaman yang akan datang; dan kemauan pemuda adalah banjir
yang tak boleh dihambat. Yamin sangat yakin akan cita-citanya untuk mewujudkan
Indonesia Raya bukanlah suatu hal yang mustahil, melainkan suatu bangunan
dengan tiang yang kokoh.
Terinspirasi
oleh Sumpah Palapa Gajah Mada, Muhammad Yamin membuat konsep ikrar Sumpah
Pemuda untuk dibacakan sebagai hasil Kongres Pemuda II. Konsep tersebut
kemudian disetujui oleh Soegondo sebagai ketua dan Amir Syarifuddin sebagai
bendahara. Kemudian, konsep tersebut dibacakan di depan kongres dan disetujui
oleh seluruh peserta. Rumusan hasil Kongres Pemuda II 1928 yang dibuat Muhammad
Yamin tersebut sekarang dikenal dengan ikrar Sumpah Pemuda yang sangat menjiwai
semangat pemuda Indonesia selanjutnya.
Di
kemudian hari, 28 Oktober diperingati sebagai Hari Sumpah Pemuda. Peringatan
tersebut selalu dimeriahkan pula dengan kegiatan Bulan Bahasa dan sastra
Indonesia sebagai bentuk kebanggaan dan kecintaan rakyat terhadap
bahasa Indonesia. Sebab, dalam kongres itulah, bahasa Indonesia mulai diakui
secara de facto sebagai bahasa persatuan.
Setelah
turut terlibat menyatukan para pemuda lewat Kongres Pemuda II, Yamin melebarkan
perjuangannya ke ranah politik. Pada tahun 1931, ia tercatat sebagai anggota
Partai Indonesia, meski belakangan partai tersebut dibubarkan. Setelah itu
bersama Adam Malik,
Wilopo, dan Amir Syarifuddin, Yamin mendirikan Partai Gerakan Rakyat Indonesia.
Yamin secara resmi masuk ke dalam pemerintahan setelah diangkat sebagai anggota
Volksraad (Dewan Perwakilan Rakyat) hingga tahun 1942.
Semasa
pendudukan Jepang antara tahun 1942 dan 1945, Yamin bertugas di Pusat Tenaga Rakyat
(PUTERA), sebuah organisasi nasionalis yang disokong oleh pemerintah Jepang.
Pada tahun 1945, Yamin mendirikan Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan
(BPUPK), dibantu Ir. Soekarno. Yamin, bersama anggota panitia 9 BPUPKI kemudian
berhasil merumuskan Piagam Jakarta
dan menjadi dasar terbentuknya UUD 1945 serta Pancasila.
Figur
yang amat mencintai persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia ini juga pernah
ditunjuk sebagai anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Setelah
proklamasi kemerdekaan, ia memangku sejumlah jabatan penting dalam
pemerintahan, antara lain sebagai Menteri Kehakiman (1951), Menteri Pengajaran,
Pendidikan dan Kebudayaan (1953-1955), Ketua Dewan Perancang Nasional (1962),
dan Ketua Dewan Pengawas IKBN Antara (1961-1962).
Jabatan
terakhirnya sebagai pembantu presiden adalah Menteri Penerangan. Saat masih
mengemban tugas dan tanggung jawab sebagai menteri itulah, sastrawan dan
negarawan yang banyak berjasa pada negara ini tutup usia di Jakarta, pada 17
Oktober 1962, di usia 59 tahun. Jasadnya kemudian dikebumikan di Talawi, sebuah
kota kecamatan yang terletak 20 kilometer dari ibu kota Kabupaten Sawahlunto,
Sumatera Barat. Atas dedikasi dan kontribusinya, pemerintah RI menganugerahkan
gelar Pahlawan Nasional kepada Muhammad Yamin berdasarkan SK Presiden RI
No.088/TK/1973. eti | muli, red
ENSIKLOPEDI TOKOH INDONESIA
Muhammad Yamin
Nama: Muhammad Yamin
Gelar: Pahlawan
Nasional berdasarkan SK Presiden RI No.088/TK/1973
Lahir: Sawahlunto,
Sumatera Barat, 23 Agustus 1903
Meninggal: Jakarta, 17
Oktober 1962
Makam: Talawi,
Sawahlunto Sumatera Barat
Pekerjaan: Sastrawan,
pejuang, politikus
Agama: Islam
Orangtua: Usman
(bergelar Bagindo Khatib) & Siti Sa’adah
Istri: Raden Ajeng
Sundari Mertoatmadjo
Anak: Dang Rahadian
Sinajangsih Yamin
Perjuangan:
- Perumus ikrar Sumpah Pemuda yang lahir dari Kongres Pemuda II, 28 Oktober 1928.
- Mendirikan Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK), dibantu Ir. Soekarno. Yamin, bersama anggota panitia 9 BPUPKI yang kemudian berhasil merumuskan piagam Jakarta dan menjadi dasar terbentuknya UUD 1945 serta Pancasila.
Pendidikan:
- Recht Hogeschool (RHS) di Jakarta dan berhasil mendapatkan gelar Meester in de Rechten ‘Sarjana Hukum’, 1932
- Hollands Inlands School (HIS), Jakarta
- Algemene Middelbare School (AMS), Yogyakarta
- Lembaga Pendidikan Peternakan dan Pertanian di Cisarua, Bogor
- HIS, Palembang
Organisasi:
- AnggotaVolksraad (Dewan Perwakilan Rakyat)
- Partindo, 1932-1938
- Yong Sumatramen Bond (Organisasi Pemuda Sumatera), 1926-1928
Jabatan
dalam pemerintahan:
- Ketua Dewan Perancang Nasional, 1962
- Ketua Dewan Pengawas IKBN Antara, 1961-1962
- Menteri Pengajaran, Pendidikan dan Kebudayaan, 1953-1955
- Menteri Kehakiman, 1951
- Anggota Majelis Pertimbangan Putera
- Mendirikan Partai Gerakan Rakyat Indonesia bersama Adam Malik, Wilopo, dan Amir Syarifuddin
- Anggota BPUPKI
- Anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP)
Karya:
- Puisi:
- Indonesia, Tumpah Darahku, Jakarta: Balai Pustaka (kumpulan), 1928
- Drama:
- Kalau Dewa Tara Sudah Berkata. Jakarta: Balai Pustaka, 1932
- Ken Arok dan Ken Dedes, Jakarta: Balai Pustaka, 1934
- Indonesia Tumpah Darahku, 1928
- Tanah Air, 1922
- Terjemahan:
- Julius Caesar karya Shakspeare, 1952
- Tan Malaka. Jakarta: Balai Pustaka, 1945
- Menantikan Surat dari Raja karya R. Tangore, 1928
- Di Dalam dan di Luar Lingkungan Rumah Tangga karya R. Tigore, t.th
- Sejarah:
- Tata Negara Madjapahit, 1962
- Pertulisan Seriwidjaja Dikota Kanton (RRT) Dari Permulaan Abad XI, 1962
- Pertulisan Widjaja-Parakrama-Wardana dari Surodakan (Kediri) dengan Bertarich Sjaka 1368-T.M. 1447, 1962
- Pembangunan Semesta, 1961
- Sapta Darma, 1956
- Kebudajaan Asia-Afrika: Buku I: Bagian Naskah, 1955
- Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia, 1951
- Revolusi Amerika, 1951
- 6000 tahun Sang Merah-Putih, 1951
- Sejarah Pangerah Dipenogoro, Jakarta: 1945
- Gadjah Mada, Jakarta: 1945
Pusat
Data Tokoh Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
wilujeng ngawangkong