Faisal H Basri
Lahir: Bandung, Jawa Barat, 6
November 1959
Agama: Islam
Pekerjaan: Dosen, pengamat ekonomi
Isteri: Syafitrie
Anak:
- Anwar Ibrahim Basri
- Siti Nabila Azuraa Basri
- Muhammad Attar Basri
Orangtua:Hasan Basri dan Saidah
Pendidikan:
- Sarjana Ekonomi, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FEUI) (1985)
- Master of Arts (M.A.) dalam bidang ekonomi, Vanderbilt University, Nashville, Tennessee, Amerika (1988)
Karir:
- 1981-sekarang: Pengajar pada Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia untuk mata kuliah Ekonomi Politik, Ekonomi Internasional, Ekonomi Pembangunan, Sejarah Pemikiran Ekonomi
- 1988-sekarang: Pengajar pada Program Magister Akuntansi (Maksi), Program Magister Manajemen (MM), Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Pembangunan (MPKP), Program Pascasarjana Universitas Indonesia untuk mata kuliah Analisis Lingkungan Bisnis, Perdagangan Internasional, Keuangan Internasional, dan Makroekonomi untuk Manajer, Ekonomi Regulasi, Ekonomi Politik, dan Etika Perencanaan
- 1997-sekarang: Editorial Board, Jurnal Bisnis & Ekonomi Politik (Quarterly Journal of the Indonesian Economy), diterbitkan oleh Institute for Development of Economics and Finance (Indef)
- 1999-2003: Ketua, Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Perbanas Jakarta
- 1995-2000: Expert (dan Pendiri), Instutute for Development of Economics & Finance (Indef)
- 1999-2000: Redaktur Ahli Koran Mingguan "Metro"
- 1999-2000: Dewan Pengarah Jurnal Otonomi, diterbitkan oleh Yayasan Pariba
- 2000: Anggota Tim Asistensi Ekuin Presiden RI
- 1995-1999: Tenaga Ahli pada proyek di lingkungan Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral, Direktorat Jenderal Pertambangan Umum, Departemen Pertambangan dan Energi
- 1981-1998: Peneliti pada Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat FEUI
- 1987-1998: Pengajar pada Program Extension FEUI untuk mata kuliah Perekonomian Indonesia, Teori Makroekonomi, Metode Penelitian, Ekonomi Internasional, dan Organisasi Industri
- 1991-1998: Sekretaris Program pada Pusat Antar Universitas bidang Ekonomi, Universitas Indonesia
- 1991-1998: Pengajar pada Fakultas Ilmu-ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia untuk mata kuliah Pengantar Ekonomi-Politik Hubungan Internasional; dan Jepang & Negara-negara Industri Baru, dan Ekonomi Politik Internasional
- 1992-1998: Anggota Redaksi Jurnal Ekonomi Indonesia, diterbitkan oleh Pengurus Pusat Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI)
- 1995-1998: Ketua Jurusan ESP (Ekonomi dan Studi Pembangunan) FEUI
- 1995-1998: Pengajar pada Program Pascasarjana Universitas Indonesia, bidang studi Ekonomi, untuk mata kuliah Strategi dan Kebijakan Pembangunan; dan Program Studi Kajian Wanita; dan Program Studi Khusus Hubungan Internasional
- 1995-1998: Guest Editor pada NIPPON (Seri Publikasi Monograf Pusat Studi Jepang Universitas Indonesia)
- 1996-1998: Anggota Dewan Redaksi Majalah Kajian Ekonomi-Bisnis "Media Eksekutif", Program Extension Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
- 1997-1998: Research Associate dan Koordinator Penelitian Bidang Ekonomi dalam rangka kerja sama penelitian antara Pusat Studi Jepang Universitas Indonesia dengan University of Tokyo
- 1993-1997: Koordinator Bidang Ekonomi, Panitia Kerja Sama Kebahasaan Brunei Darussalam-Indonesia-Malaysia (Mabbim)
- 1993-1995: Kepala Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (LPEM-FEUI)
- 1994-1995: Pakar Ekonomi pada P3I DPR-RI
- 1991-1993: Wakil Kepala Bidang Penelitian LPEM-FEUI
- 1989-1990: Koordinator Bidang Ekonomi pada PAU-Ek-UI
- 1990: Pengajar pada Sekolah Tinggi Ekonomi, Keuangan dan Perbankan Indonesia (STEKPI) untuk mata kuliah Pengantar Makroekonomi
- 1985-1987: Anggota Tim "Perkembangan Perekonomian Dunia" pada Asisten II Menteri Koordinator Bidang EKUIN
Kegiatan Lain:
- American Economist Association (AEA), anggota
- Society for International Development (SID), anggota
- Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI): 1996-2000 sebagai Pembantu Ketua Bidang III
- Komite Pemantau Korupsi Nasional (KONSTAN)
- National Corruption Watch (NCW), sejak peresmian pada 6 April 2000 sebagai Ketua Dewan Etik.
- Partai Amanat Nasional (PAN): Pendiri; periode 1998-2000 sebagai Sekretaris Jenderal; 2000-01 sebagai Ketua yang membawahi bidang Penelitian dan Pengembangan. Bea Siswa / Penghargaan
- Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1981.
- Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan-Proyek Pengembangan Pusat Fasilitas Bersama antar Universitas/IUC (Bank Dunia XVII), 1987-88.
- Dosen Teladan III Universitas Indonesia, 1996
Penghargaan:
- Dosen Teladan III Universitas Indonesia (1996)
- Penghargan "Pejuang Anti Korupsi 2003," diberikan oleh Masyarakat Profesional Madani (MPM), Gedung Joang 45, Jakarta, 15 Januari 2004
- "FEUI Award 2005" untuk kategori prestasi, komitmen dan dedikasi dalam bidang sosial kemasyarakatan, Depok, 17 September 2005
Alamat Kantor:
- STIE Perbanas, Jalan Perbanas, Karet Kuningan, Setiabudi, Jakarta 12940, Telepon (021) 5252533, 5222501-04, 5228460 Faksimile 5228460
- Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Gedung Depperindag Lt.12, Jalan Gatot Subroto Kav. 52-53, Jakarta
Alamat Rumah:
Jalan Bambu Indah 49 RT 009/RW 03,
Kalisari, Pasar Rebo, Jakarta 13790
Telepon (021) 87707322
Faksimile (021) 8728949
HP 0811-902-466
Telepon (021) 87707322
Faksimile (021) 8728949
HP 0811-902-466
Pusat Data Tokoh Indonesia
Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (UI) dan
mantan Sekjen DPP Partai Amanat Nasional (PAN), ini seorang ekonom, politisi
dan aktivis LSM yang teguh pada prinsip. Pria kelahiran Bandung, 6 November
1959, ini memperoleh gelar Master of Arts (MA) dalam bidang ekonomi dari
Vanderbilt University, Nashville, Tennessee, Amerika
Kesibukan
riset, mengajar dan juga aktivis politik yang ditekuninya, menyebabkan
kuliahnya di program doktor Ilmu Politik UI terbelengkalai.
Seusai
kejatuhan Soeharto, ia turut mendirikan Majelis Amanat Rakyat (MARA) yang
menjadi cikal bakal Partai Amanat Nasional. Di partai inilah, ia sempat
menjabat sebagai Sekjen dan kemudian salah satu ketua. Hanya tiga tahun Faisal
bertahan di partai yang ikut didirikannya itu.
Keluar
dari hiruk-pikuk partai politik, Faisal nyatanya tidak bisa benar-benar lepas
dari aktivitas politik. Bersama sejumlah kalangan muda belia, Faisal mendirikan
sebuah ormas, Pergerakan Indonesia. Melalui PI-lah Faisal berupaya menyemai
benih-benih kebangsaan, keberagaman dan solidaritas.
Bersama
sejumlah aktivis sosial lainnya, Faisal ikut menyemplungkan diri dalam sejumlah
organisasi seperti Forum Indonesia Damai, Komisi Darurat Kemanusiaan, Dewan
Tani Indonesia, dan beberapa organisasi antikorupsi. Dengan sejumlah aktivis
LSM, Faisal ikut mendirikan beberapa ornop seperti Yayasan Harkat Bangsa,
Global Rescue Network, dan Yayasan Pencerahan Indonesia.
Di
luar aktivitas sosial itu, sejak tahun 2000 Faisal diangkat sebagai salah
seorang Anggota Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU
***
Titik-Titik
Perjalanan Kehidupan
"Seandainya
baru dilahirkan saat ini, saya rasanya tidak mungkin bisa mengecap pendidikan
hingga jenjang S2. Tak mampu orang tua saya untuk membiayai ongkos pendidikan
yang selangit seperti sekarang."
Bukan
satu-dua kali saja Faisal Basri melontarkan pernyataan ini. Ia mengaku di satu
sisi, merasa bersyukur karena masih ada segelintir lapisan masyarakat yang
mampu memilih pendidikan terbaik bagi putera-puteri mereka. Tapi, di sisi lain,
ia merasa amat masygul karena banyak sekali orang tua yang harus
pontang-panting membiayai pendidikan anak-anaknya. Celakanya, kata Faisal,
"Walaupun bisa bersekolah, anak-anak itu harus rela mengecap fasilitas dan
pengajaran yang seadanya."
Ketimpangan
dalam pendidikan, dalam pandangannya, merupakan contoh nyata mengenai tidak
disatukannya pendekatan ekonomi dengan politik dalam penyusunan kebijakan
publik. Katanya, "Ekonomi pada akhirnya berurusan tentang pencapaian
kemakmuran. Politik pada intinya bersoal tentang keadilan. Tugas negara adalah
mempertautkan keduanya." Faisal punya ungkapan favorit mengenai salah satu
tugas pokok seorang pemimpin, "Menarik mereka yang di pinggir ke tengah,
menguatkan mereka yang lemah."
Ketertarikannya
pada hal-ikhwal ekonomi-politik itulah yang mendorongnya bersikeras memilih
berkuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, jurusan Ekonomi dan Studi
Pembangunan, dan bukannya Sekolah Tinggi akuntansi Negara (STAN) ataupun di
Akademi Ilmu Statistik (AIS). Di ketiga lembaga pendidikan tersebut Faisal
lulus ujian seleksi. Jika memilih STAN atau AIS, selain ada kepastian bekerja,
saya juga dapat uang saku dan jatah beras selama kuliah."
Sejatinya
itu bukan pilihan yang mudah bagi Faisal, terutama jika mengingat kondisi
ekonomi keluarganya yang pas-pasan. "Sewaktu kecil, kami tidak
diperbolehkan jajan. Kecuali ketika ada tante yang sedang berkunjung.
Barangkali alasan utamanya bukan soal kesehatan, tapi karena memang tak bisa
beli saja," katanya sambil setengah tertawa mengenang masa kanak-kanaknya.
Meski
begitu, ia mengaku sudah berpiyama pada zaman serba sulit itu. "Itu
pemberian paman. Saya itu cucu dan cicit pertama dari pihak Ibu. Jadi banyak
dapat limpahan kasih sayang."
Limpahan
kasih sayang itu pula yang mengantarkannya sewaktu muda sudah berumroh.
"Tatkala ayah wafat, Nenek Bung (begitu ia biasa menyapa Adam Malik,
kakak nenek di pihak Ibu) yang mengajak agar bisa mendoakan ayah." Ajakan
itu membuat paman-tantenya jadi ikutan sibuk. "Ada yang belikan saya
sepatu, belikan baju dan dasi, serta menjahitkan jas."
Jas
itu dibutuhkan karena Faisal ikut dalam rombongan kenegaraan yang akan menghadiri
Konferensi Tingkat Tinggi Organissi Konferensi Islam (KTT OKI) di Thaif, Saudi
Arabia. Ketika itu, sebagai Wakil Presiden, Adam Malik
menjadi pemimpin Delegasi pemerintah RI. Ia amat mengenang perjalanan
pertamanya ke luar negeri itu.
Bagaimana
tidak, sewaktu melakukan umroh, ia berkesempatan mencium Hajar Aswad, masuk ke
makam Rasulullah di dalam Masjid Nabawi, Madinah, dan berfoto-foto pula."
Maklum, waktu itu kita merupakan rombongan Kepala Negara. Jadi, ke mana-mana
dikawal dan dapat privelege." Saat berumroh, Faisal bersama putra tertua Adam Malik
dan seorang guru mengaji keluarga Adam Malik." Waktu rombongan turun di
Thaif, tinggal kami bertiga, plus pilot dan awak kabin tentunya, yang di
pesawat menuju Jeddah."
Faisal
lahir di Bandung, 6 November 1959 dari pasangan Hasan Basri
dan Saidah Nasution. Semasa Faisal kanak-kanak, Ayahnya bekerja di sebuah
perusahaan percetakan di Jakarta. Keluarganya baru boyongan ke Jakarta pada
tahun 1966 setelah ayahnya mendapat semacam rumah dinas di Gg. Eddy, dekat
kawasan Setiabudi.
Meski
kondisi ekonomi keluarganya terbilang pas-pasan, Faisal mengaku menikmati masa
kanak-kanak dan remajanya. Salah satunya karena kedua orang tuanya menanamkan
benih-benih bagi dirinya untuk bersikap toleran dan menghargai kebebasan. Dan,
ini tak sekadar mereka ucapkan. Meski kedua orangnya secara kultural dari
kalangan Nahdliyin, mereka memasukkan Faisal di madrasah Muhammadiyah.
Tak sekadar itu, ketika Faisal muda tidak membaca qunut dalam shalat subuh atau
tarawih sebelas rakaat, ayahnya sama sekali tidak keberatan.
"Rasa-rasanya,
kebebasan yang diberikan ayah saya itu dibarengi pula dengan cara memberikan
landasan sebagai bekal hidup. Saya disuruh belajar mengaji siang hingga sore
hari, dan juga malam. Malam-malam, saya mengaji di rumah tetangga, membaca
Al-Quran sampai khatam. Jadi landasan awalnya diberikan. Tapi ihwal school of
thought atau mazhab berpikir, ayah saya tidak pernah mendikte agar mengikut
Syafi'i, Maliki atau madzab lainnya. Tidak! Tapi dilakukan dengan mengenalkan
anak-anaknya pada berbagai sumber yang tentu saja hanya bisa diserap kalau
anak-anaknya bisa membaca, pandai dan cinta membaca," tutur Faisal
sebagaimana diutarakannya dalam sebuah kesempatan wawancara.
Seusai
menamatkan pendidikan dasar di SD Negeri Halimun I Pagi, ia melanjutkan di SMP
Negeri 67 dan akhirnya masuk SMA Negeri 3 Setiabudi. "Ini masa
bandel-bandelnya. Suka bolos. Rapor saya banyak merahnya," akunya. Tapi
pada masa ini pula ia mulai membaca majalah Prisma yang menjadi pemicu
ketertarikannya pada masalah ekonomi-politik. "Waktu itu kan sedang
kuat-kuatnya polemik. Salah satunya tentang (teori) dependensia," tuturnya
di sebuah kesempatan.
Sewaktu
mulai berkuliah pada tahun 1978, Faisal langsung mengalami masa-masa penuh
ketegangan. Ketika itu, perlawanan mahasiswa terhadap rejim Orde Baru
kembali memuncak setelah sempat meredup seusai Malari 1974. "Dulu kita
mogok kuliah, yang masuk ke kelas langsung ditarikin oleh para senior."
Kampus dijaga. Akibatnya ia lebih banyak berdiam diri di kampus ketimbang di
rumah.
Hal
ini berlanjut setelah perlawanan mahasiswa berhasil diberangus. Selain untuk
menghemat ongkos, ia mengaku merasa lebih nyaman belajar di kampus. Tempat
pertama yang jadi markasnya adalah Mesjid Arief Rahman Hakim, di dalam Kampus
UI Salemba. "Ada listrik. Rumah kami waktu itu masih pakai petromak,"
katanya menjelaskan.
Rumah
yang dimaksud itu adalah rumah di Kebon Baru, Tebet. pemberian dari keluarga
besarnya. Ia masih mengingat dengan jelas sosok rumah setengah jadi itu.
"Di lantai bawah ada 1 kamar dan ruang tamu. Atasnya berlantai kayu yang
belum berserut. Atapnya seng."
Semasa
kuliah, ia sempat aktif mengelola majalah kampus, Berita Mahasiswa dan juga
menjadi anggotan Badan Perwakilan Mahasiswa (BPM). Aktivitas kemahasiswaannya
langsung berhenti setelah ia menginjak tingkat tiga, tepatnya setelah diterima
bekerja sebagai asisten peneliti dengan pangkat terendah di Lembaga
Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) FEUI. "Saya harus mengongkosi
kuliah sendiri, ayah sudah wafat," katanya menjelaskan alasannya nyambi
kerja sambil kuliah.
Peluang
bekerja tersebut tak lepas dari eksodus besar-besaran civitas akademika UI ke
luar kampus. Ini disebabkan lantaran mereka yang hengkang itu dipastikan tak
akan memperoleh status pegawai negeri dan atau tidak mungkin melanjutkan
sekolah menyusul keterlibatannya dalam aksi menentang NKK/BKK.
Dan,
Faisal pun secara tak terduga menapaki jalan hidup yang tak pernah
dicita-citakannya, menjadi dosen. Pasalnya, kewajiban mengajar/menjadi asisten
dosen merupakan peraturan yang berlaku di LPEM. Ia mengaku kerap
berkeringat-dingin ketika harus mengisi kuliah karena dosen yang ia asisteni
berhalangan hadir. Apalagi mata kuliah yang ia asuh adalah Ekonomi
Internasional. "Bagaimana tidak," katanya, "Saya lulus mata
kuliah ini setelah empat kali ujian. Yang saya ajar itu tidak hanya mahasiswa
di bawah saya, tetapi juga mereka yang jauh lebih senior."
Jalan
hidupnya sebagai peneliti membuka kesempatan bagi dirinya untuk mengunjungi
seluruh pelosok tanah air, kecuali Timor Timor yang baru ia kunjungi setelah
lepas dari Indonesia. Sebuah karunia yang tak pernah terbayangkan sebelumnya.
Tapi, ia mengakui, jalan hidup sebagai peneliti bukan tanpa rintangan. Salah
satunya ketika LPEM diminta untuk meneliti tentang tata niaga cengkeh.
Penelitian
ini lebih mirip sensus karena mendata produksi di seluruh daerah penghasil
cengkeh di tanah air. Ketika timnya turun ke lapangan, di beberapa lokasi
suasananya cukup tegang. Pasalnya, mereka dicurigai oleh petani sebagai
antek-antek-nya BPPC. Ketika itu, harga cengkeh sedang amblas menjadi sekitar
Rp 2.500/kg dari sebelumnya pada kisaran Rp 25 ribu – Rp 30 ribu/kg-nya.
Masalah
timbul lantaran pemesan riset, Ditjen Perdagangan Dalam Negeri, meminta LPEM
untuk mengubah data persediaan. Tujuannya jelas untuk memberikan legitimasi
keberadaan lembaga penyangga (baca: BPPC). "Kami menolak permintaan itu.
"Tak ada kompromi untuk hal seperti ini," katanya. Hingga hari ini,
Laporan penelitian tersebut masih tersimpan dalam gudang (LPEM)" . Kala
itu ia menjabat sebgai Wakil Kepala yang membidangi penelitian.
Seusai
lulus kuliah, dirinya kerap menjadi asisten peneliti dari DR. Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, mantan Menko Perekonomian di era Presiden Megawati. Selama
menjadi asisten dari dosen yang paling dikaguminya ini, rejekinya juga
mengalir. "Sekali waktu, saya sampai pernah menangani empat penelitian
sekaligus."
Ketika
tiba waktunya melanjutkan studi, Faisal disergap kebingungan. Di satu sisi, ia
sudah memperoleh beasiswa. Tapi, di sisi lain, ia juga punya tanggung jawab
sebagai kepala keluarga. Terpaksalah ia menghadap ketua jurusan, saat itu
dijabat oleh DR. Iwan Jaya Azis, meminta penundaan. "Mas, saya masih harus
mencari uang, masih ada adik yang harus disekolahkan." Permintaannya ini
dikabulkan. Tapi, tahun berikutnya, Iwan langsung memberi ultimatum yang
memaksanya melanjutkan kuliah.
Ia
meraih Master of Arts di bidang ekonomi dari Vanderbilt University, Nashville,
Tennessee, Amerika Serikat pada tahun 1988. Ketika itu, ia berencana
melanjutkan studi. Tapi, minatnya bukan lagi ekonomi, melainkan politik.
Niatnya itu kurang memperoleh respons dari pimpinan Fakultas kala itu. Faisal
kembali ke tanah air dan melanjutkan tugas sebagai pengajar dan peneliti. Pada
tahun 1993, ia dipercaya menduduki posisi Kepala LPEM. Baginya ini merupakan
pencapaian yang luar biasa. Ketika pertama kali bergabung, ia memulai dari
pangkat terendah yang ada, Junior Research Assistant A. Sebelumnya (1991-93) ia
dipercaya sebagai Wakil Kepala yang membidangi penelitian.
Kesibukan
riset, mengajar dan juga aktivis politik yang ditekuninya, menyebabkan
kuliahnya di program doktor Ilmu Politik UI terbelengkalai. Pada tahun 1998, ia
sudah menempuh 6 semester. Masih ada 4 kuliah lagi yang belum diambilnya.
Padahal, jatah waktunya hanya 4 semester lagi, termasuk untuk penulisan
disertasi. "Waktu mengambil (doktor), Pak Djatun yang mendorong. Karena
tak mungkin selesai, ya, saya putuskan untuk mengundurkan diri."
Keterlibatannya
dalam aktivitas politik itu dimulai ketika ia menjalin interaksi yang intensif
dengan para mahasiswa UI yang menjadi demonstran, saat krisis ekonomi mulai
meledak di negeri ini tahun 1997. Para mahasiswa kerap berdiskusi di rumahnya
di bilangan Kalisari, Pasar Rebo dan di Gedung Jurusan Ekonomi dan Studi
Pembangunan, karena waktu itu ia menjabat sebagai ketua jurusan. Ia pun mulai
berorasi di panggung-panggung demonstrasi yang digelar di kampus UI.
Seusai
kejatuhan Soeharto, ia turut mendirikan Majelis Amanat Rakyat (MARA) yang
menjadi cikal bakal Partai Amanat Nasional. Di partai inilah, ia sempat
menjabat sebagai Sekjen dan kemudian salah satu ketua. Hanya tiga tahun Faisal
bertahan di partai yang ikut didirikannya itu.
Sejatinya,
sudah setahun sebelumnya (tahun 2000) Faisal berencana mengundurkan diri. Tapi,
sejumlah rekan dan koleganya memintanya untuk terus bertahan. Tapi, pada
akhirnya keputusan pahit itu harus diambilnya. "Demi kebaikan bagi PAN dan
bagi saya sendiri, saya rasanya lebih baik mundur," ujarnya dengan nada
sedih.
Keluar
dari hiruk-pikuk partai politik, Faisal nyatanya tidak bisa benar-benar lepas
dari aktivitas politik. Bersama sejumlah kalangan muda belia, Faisal mendirikan
sebuah ormas, Pergerakan Indonesia, namanya. Melalui PI-lah Faisal berupaya
menyemai benih-benih kebangsaan, keberagaman dan solidaritas. Bersama sejumlah
aktivis sosial lainnya, Faisal ikut menyemplungkan diri dalam sejumlah organisasi
seperti Forum Indonesia Damai, Komisi Darurat Kemanusiaan, Dewan Tani
Indonesia, dan beberapa organisasi antikorupsi. Dengan sejumlah aktivis LSM,
Faisal ikut mendirikan beberapa ornop seperti Yayasan Harkat Bangsa, Global
Rescue Network, dan Yayasan Pencerahan Indonesia.
Di
luar aktivitas sosial itu, sejak tahun 2000 Faisal diangkat sebagai salah
seorang Anggota Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU). Salah satu tugas
pokok komisi ini adalah memastikan adanya perlakuan sama terhadap semua pihak
yang menjalankan usaha dan memerangi persaingan usaha tak sehat. Jadi,
"Isunya bukan apakah anak pejabat boleh berbisinis atau tidak, tetapi
apakah mereka mendapat perlakuan khusus atau tidak," katanya
mengilustrasikan fungsi komisi ini dengan mengaitkannya dengan pernyataan SBY
beberapa waktu silam.
Meski
bertujuan baik, tak selamanya keputusan KPPU bisa dijalankan. Ini, umpamanya,
terjadi pada kasus jaringan minimarket Indomaret. Menurutnya, KPPU telah
mengeluarkan keputusan yang pada intinya melarang jaringan mini market ini
melakukan ekspansi ke segala penjuru dan membuka gerai di daerah pemukiman.
Keberadaannya telah mematikan toko/warung di wilayah dimana ia membuka gerai.
Pasalnya, jaringan minimarket ini memperoleh harga pembelian yang lebih rendah
sehingga toko/warung akhirnya banyak yang bangkrut karena kalah bersaing akibat
perlakuan yang diskriminatif dari pihak pabrikan.
"Sayangnya,
keputusan ini tak bisa dieksekusi. Soalnya, yang memiliki hak untuk
mengeluarkan ijin usaha adalah pemda. Jadi, kalau pemdanya tidak peduli dengan
usaha kecil, ia abaikan saja (keputusan KPPU) itu," jelasnya.
Masa
tugasnya sebenarnya sudah berakhir pada tahun 2005 lalu. Tapi, kemudian terus
diperpanjang karena pemerintah belum berhasil menetapkan nama-nama anggota
baru. Faisal berharap akhir tahun ini (2006) ia sudah terbebas dari
kewajibannya sebagai anggota KPPU.
Kini
dirinya lebih dikenal sebagai pengamat ekonomi. Namun, Faisal sendiri lebih
suka menamakan dirinya "analis ekonomi", karena biasanya yang
dilakukannya memang tak sekadar mengamati, juga memberikan analisis-analisis.
Yang menarik, meski dalam berbagai tulisan dan makalahnya di berbagai forum
begitu gamblang tergambar keberpihakannya kepada mereka yang lemah, dirinya tak
urung justru dituduh sebaliknya. Julukan ekonom neolib dan antek IMF silih
berganti diarahkan kepada dirinya.
Seorang
sejawatnya di Pergerakan Indonesia memberikan ilustrasi menarik tentang
tudingan ini. Katanya, "Sebagai ekonom, Faisal dituding sebagai neolib.
Sewaktu jadi politisi di PAN, ia dituding sebagai representasi kaum Sosial
Demokrat. Tidak mungkin kedua-duanya benar. Salah satunya harus salah atau
dua-duanya salah!"
Faisal
mengaku tak terganggu dengan tudingan tak berdasar itu. "Cermati saja
tulisan-tulisan saya," begitu ia menjawab setiap kali ditanya soal ini.
Sekali waktu, Faisal pernah berujar, "Begini-gini, kakek saya itu salah
satu pendiri Partindo, loh, sedangkan Kakek paman merupakan salah satu pendiri
Partai Murba."
Pandangannya
tentang peran negara bisa mengilustrasikan di posisi mana sebenarnya Faisal
berpijak. "Pemerintah," katanya," dengan berbagai alasan sudah
seharusnya semakin ikut turun tangan dalam masalah ekonomi. Tidak bisa lagi
berpangku tangan membiarkan mekanisme pasar mendiktekan segala sesuatunya. Jika
dibiarkan, ketimpangan akan semakin dalam saja. Jika begitu, apa gunanya kita
bernegara dan berbangsa?"
Sebagai
individu, Faisal kerap pula disalahdugai. Dalam sebuah diskusi dengan kalangan
wartawan, Wapemred Detik.com, Didik Supriyanto, mempertanyakan apakah Faisal
dapat bersikap tegas untuk memimpin warga Jakarta yang dikenal keras, majemuk
dan susah diatur. Sebaliknya, sejumlah kolega politiknya bukan sekali-dua
menasehati agar dirinya lebih kompromistis dan tak mengeluarkan pernyataan
tajam yang bisa bikin beberapa orang marah. Apalagi, kalau itu menyinggung
kepentingan pemilik modal besar dan atau petinggi negeri.
Ungkapan
"keprihatinan" itu, umpamanya, banyak diterimanya seusai melontarkan
pernyataan bahwa dirinya bercita-cita satu saat kelak, tidak ada lagi iklan
rokok bertebaran di ruas-ruas jalan di Jakarta. Pasalnya sederhana saja,
Menurut perhitungannya, jumlah pemasukan yang disetor dari industri rokok ke
kas negara nilainya jauh lebih rendah ketimbang biaya yang harus ditanggung
masyarakat secara keseluruhan. "Kita saja yang terilusi bahwa cukai dari
rokok dan tenaga kerja yang mereka serap sebegitu signifikan sehingga
(pemerintah) dibuat takut untuk membuat keputusan yang bisa membuat produsen
rokok tak senang."
Ketika
disinggung dirinya juga perokok, ia berkata, "Tiap hari habis satu pak
lebih, namun saya akan memastikan Perda Kawasan Bebas Rokok benar-benar
dijalankan, tidak seperti sekarang jadi 'macan kertas' saja."
Bersikap
hitam–putih, apa adanya, dasarnya sederhana saja. Katanya, "Kalau kita
ingin disukai semua orang, pada akhirnya kita akan dibenci semua orang!"
(faisalbasri.com) e-ti
TokohIndonesia
DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
wilujeng ngawangkong