Nama Kecil: Masyhudul Haq
Lahir: Koto Gedang, Sumatera Barat,
8 Oktober 1884
Meninggal: Jakarta, 4 Nopember 1954
Makam: Taman Makam Pahlawan
Kalibata, Jakarta
Agama: Islam
Pendidikan:
- HBS (Hogere Burgerschool) (Setingkat Sekolah Menengah Umum) tahun 1903.
- Otodidak
- Menguasai sedikitnya sembilan bahasa asing, antara lain bahasa Belanda,Inggris, Jerman, Prancis, Arab, Turki, dan Jepang,
Pekerjaan:
- Penerjemah dan sebagai notaris
- Konsulat Belanda di Jeddah (1906-1911)
- Pemimpin beberapa surat kabar.
- Anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dan duduk di panitia Kecil Perancang UUD
- Anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA)
- Menteri Muda Luar Negeri pada masa Kabinet Syahrir I (14Nov 1945-12 Maret 1946) dan Kabinet Syahrir II (12 Maret 1946 – 2 Oktober 1946).
- Menteri Luar Negeri dalam Kabinet Hatta (20 Deember 1949 – 6 September 1950).
- Penasihat Menteri Luar Negeri
Organisasi:
- Pengurus Pusat Sarekat Islam (SI).
- Ketua Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII)-tahun 1934
Perjuangan:
Melakukan diplomasi untuk meminta
dukungan negar-negar internasonal atas kemerdekaan Indonesia antara lain,
menjadi Ketua delegasi Republik Indonesia ke Timur Tengah yang telah
menghasilkan pengakuan-pengakuan de jure atas Republik Indonesia dari
negara-negara Arab. Kemudian menyertai Sutan Sjahrir pada sidang Dewan Keamanan
PBB bulan Agustus 1947 yang membahas tentang penyerbuan Belanda atas wilayah
Republik Indonesia.
Gelar Penghormatan: Pahlawan
Kemerdekaan Nasional (SK Presiden RI No.657 Tahun 1961, tanggal 27 Desember 1961)
Jakarta, 22 Juni 2011
Pusat Data Tokoh Indonesia
Kemampuan
berbicara dalam berbagai bahasa didukung keinginan kuat untuk belajar, mengantarkan
Haji Agus Salim menjadi seorang tokoh diplomat unggul yang telah banyak
membantu bangsa Indonesia dalam meraih kemerdekaan.
Haji
Agus Salim
yang sebelumnya dikenal bernama Masyhudul Haq, lahir di Koto Gedang, Sumatera
Barat (dekat Bukittinggi), pada tanggal 8 Oktober 1884. Di pendidikan formal,
dia hanya menginjakkan kaki sampai HBS (Hogere Burgerschool, - Setingkat
Sekolah Menengah Umum). Sesudah menamatkan HBS tahun 1903, ia belajar sendiri
(otodidak). Ditopang oleh kemampuannya menguasai tidak kurang dari sembilan
bahasa asing, antara lain bahasa Belanda, Inggris, Jerman, Prancis, Arab,
Turki, dan Jepang, memungkinkannya membaca bermacam-macam buku ilmu
pengetahuan.
Agus Salim
yang awalnya bekerja sebagai penerjemah dan sebagai notaris, sempat dianggap
sebagai koperator, yakni orang yang koperatif (mendukung atau tidak bermusuhan)
dengan kolonial Belanda. Pada masa mudanya, dia memang pernah bekerja pada
pemeritah kolonial Belanda. Pada tahun 1906 sampai 1911, misalnya, dia bekerja
pada Konsulat Belanda di Jeddah, Saudi Arabia. Sepintas lalu, sikap dan
pendirian Salim itu sukar dimengerti. Tapi, pengalaman akhirnya menyadarkan
dirinya untuk menjadi seorang yang nonkoperator.
Dia
akhirnya menyadari, bagaimana pedihnya menjadi budak di rumah sendiri dan
betapa enaknya menjadi bangsa yang merdeka yang sekalipun miskin tapi menjadi
tuan rumah di rumah sendiri. Di sini Agus Salim
mulai menemukan identitas pribadinya. Dia lebih senang hidup berdikari walaupun
miskin, tapi dihargai orang daripada hidup mewah sebagai pegawai/ambtenaar di
bawah telapak kaki Belanda.
Terlepas
dari itu, Agus Salim yang tinggal selama kira-kira lima tahun di Jeddah,
dimanfaatkannya untuk memperdalam pengetahuannya tentang agama Islam yang
dianutnya, sambil mempelajari seluk beluk diplomasi. Pengalaman yang pernah
diterimanya itu ternyata kelak sangat bermanfaat baginya dalam menjalankan misi
diplomatik yang dipercayakan negara kepadanya sesudah bangsa Indonesia
memperoleh kemerdekaan.
Didukung
oleh kepandaian dan kecakapan bersilat lidah, pengetahuan yang luas, juga
flexibilitas, kapabilitas serta kapasitas yang tinggi, membuat Agus Salim
sangat diunggulkan dalam urusan diplomasi. Setiap serangan dari lawan dapat
ditangkisnya dengan penuh argumentasi yang meyakinkan. Kemampuan serta
kecakapannya sebagai seorang diplomat itu tampak sewaktu dia menjadi Ketua Misi
delegasi Republik Indonesia ke Timur Tengah yang telah menghasilkan pengakuan
de jure atas Republik Indonesia dari negara -negara Arab, seperti dari Mesir
(10 Juni 1947); Libanon (28 Juni 1947); Syria (2 Juli 1947); Irak (16 Juli
1947); Afghanistan (23 September 1947) dan Saudi Arabia (24 Nopember 1947).
Bukti
lain dari kecakapan Salim sebagai diplomat terlihat sewaktu ia menyertai Sutan
Sjahrir pada sidang Dewan Keamanan PBB bulan Agustus 1947, ketika Dewan
Keamanan sedang memperdebatkan soal penyerbuan Belanda atas wilayah Republik
Indonesia. Menurut kesaksian Sjahrir, pada waktu itu sikap dunia internasional
umumnya maupun Amerika Serikat khususnya, tampak sangat "dingin"
terhadap Indonesia. Namun, berkat ketangkasan diplomasi Agus Salim, sikap itu
mampu diubah menjadi simpati, sehingga rela membantu perjuangan Rakyat
Indonesia. "Perubahan sikap dunia ini adalah hasil diplomasi Haji Agus
Salim," demikian pengakuan Sutan Sjahrir kepada Solichin Salam, penulis
Buku "Wajah-wajah Nasional", tahun 1961 lalu.
Persyaratan
untuk menjadi seorang diplomat, seperti pengetahuan umum yang luas, pengetahuan
sejarah, kebudayaan serta peradaban bangsa-bangsa, hukum internasional,
pengetahuan serta penguasaan bahasa asing, pribadi yang berwatak, sikap yang
luwes, ramah tamah tanpa mengorbankan prinsip, segalanya dimiliki oleh Haji
Agus Salim. Demikian juga dengan wajah senyum dan simpatik. Tenang, tapi bila
perlu setiap saat siap menghadapi tangkisan pihak lawan. Atau dengan kata lain,
ramah tapi selalu waspada.
Sehubungan
dengan pengalaman Agus Salim sebagai diplomat, menurut Solichin Salam dalam
bukunya, ada sebuah "diplomatik joke" yang menarik sewaktu Salim
menghadiri penobatan Ratu Elisabeth II, mewakili Presiden
Soekarno. Ketika itu, dia terlibat percakapan dengan Pangeran Duke
of Edinburgh, suami sang Ratu.
Memperhatikan
Sang Pangeran sedang mencari-cari bau rokok kretek yang tidak enak di
tengah-tengah pesta penobatan Ratu Elisabeth II, maka secara spontan Salim
langsung menangkis sikap Tuan Rumah ini dengan suatu sindiran yang mengenai
sasarannya. "Your Highness it is the smell of my kretek cigarette made of
tubacco and cloves. You may not like the smell now, Your Highnees. But it was
this smell which attrac tedt the European People to go to my Country (Paduka
Yang Mulia, ini adalah bau sigaret kretek saya, rokok ini terbuat daripada
tembakau dan cengkeh. Paduka boleh tidak menyukai bau ini sekarang Yang Mulia.
Akan tetapi justeru bau inilah dahulu yang menarik Bangsa Eropa pergi ke negeri
saya)," kata Agus Salim ketika itu. Mendengar kata-kata itu, Sang Pangeran
hanya senyum-senyum saja. Demikian antara lain kecakapan dan ketangkasan Salim
sebagai seorang diplomat.
Haji
Agus Salim adalah seorang diplomat yang berwatak. Seorang diplomat senior yang
cakap dan penuh dedikasi yang tinggi kepada perjuangan bangsa dan negara
Republik Indonesia. Dengan bermodalkan kecakapan dan senyuman diplomatnya, ia
sanggup 'memaksa' lawannya untuk membantu perjuangan dan kepentingan bangsanya.
Dia dapat mengalahkan lawan tanpa pihak lawan merasa dikalahkan.
Di
bidang politik, Agus Salim memulainya dengan memasuki Sarekat Islam (SI).
Karena keaktifan dan kepandaiannya, ia diangkat sebagai anggota pengurus pusat.
Waktu sebagian anggota SI dipengaruhi oleh paham komunis, Agus Salim meminta
supaya diadakan pembersihan organisasi dari ideologi komunisme yang tidak
sesuai dengan ajaran Islam. Konsekuensi dari kebijakan itu adalah pengeluaran
orang-orang komunis. Pada tahun 1929, SI berubah menjadi Partai Sarekat Islam
Indonesia (PSII). Dan, setelah Cokroaminoto meninggal dunia tahun 1934, Haji
Agus Salim pun diangkat menjadi ketua PSII.
Pada
tahun yang sama, Agus Salim diangkat sebagai penasehat teknis delegasi Serikat
Buruh Negeri Belanda dalam Konferensi Buruh Internasional di Jenewa, Swiss.
Dalam konferensi itu, ia mendapat kesempatan untuk berpidato dalam bahasa
Perancis yang fasih. Banyak anggota delegasi yang kagum karena kemampuannya
berbahasa dan berpidato sehingga sangat menaikkan nama bangsa dalam forum
internasional. Walaupun dicemooh oleh orang-orang Belanda, dalam beberapa kali sidang
Volksraad, ia juga sering berpidato dengan menggunakan bahasa Indonesia.
Sebagai
sarana untuk mencurahkan aspirasi politiknya, selain aktif di bidang politik,
ia juga aktif di bidang kewartawanan dan memimpin beberapa surat kabar.
Menjelang
kemerdekaaan Indonesia tahun 1945, yakni pada masa pendudukan Jepang, Agus
Salim duduk sebagai anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).
Dalam kedudukannya sebagai anggota PPKI ini, ia terlibat aktif dalam Panitia
Kecil Perancang UUD bersama dengan antara lain: Prof Dr. Supomo, Wongsonegoro,
Ahmad Subardjo, dan A.A. Maramis.
Setelah
Indonesia meraih kemerdekaan, ia kemudian diangkat menjadi anggota Dewan
Pertimbangan Agung (DPA). Selanjutnya, karena memiliki pengetahuan yang luas di
bidang diplomasi, pemerintah kemudian mengangkatnya menjadi Menteri Muda Luar
Negeri dalam Kabinet Syahrir I (14Nov 1945 -12 Maret 1946) dan Kabinet Syahrir
II (12 Maret 1946–2 Oktober 1946).
Ketika
Belanda melakukan Agresi II dalam merebut Yogyakarta pada tanggal 19 Desember
1948, Agus Salim ditangkap bersama pemimpin-pemimpin negara seperti Presiden
Soakarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta. Kemudian setelah dibebaskan, dan
pengakuan kedaulatan sudah diraih Indonesia, Agus Salim memangku jabatan
Menteri Luar Negeri dalam Kabinet Hatta (20 Desember 1949 - 6 September 1950).
Setelah
itu, dalam pemerintahan selanjutnya Agus Salim tidak duduk lagi dalam
pemerintahan. Namun, negara masih memerlukan buah pikirannya, karena itu
pemerintah menunjuknya menjadi penasihat Menteri Luar Negeri.
Pada
usia 70 tahun, persisnya pada tanggal 4 Nopember 1954, Agus Salim meninggal
dunia di Jakarta. Mengingat jasa-jasanya dalam mempertahankan kemerdekaan, dia
kemudian dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta. Selanjutnya
melalui SK Presiden RI No.657 Tahun 1961, tanggal 27 Desember 1961, atas nama
negara Presiden resmi menganugerahkan penghargaan kepada Haji Agus Salim gelar
sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional. MS | Bio TokohIndonesia.com
Sumber:
- Buku: 'Album Pahlawan Bangsa' cetakan ke 18. Penerbit PT Mutiara Sumber Widya
- Buku: 'Wajah-Wajah Nasional' cetakan pertama. Disusun oleh: Solichin Salam.
- Buku: 'Jejak-Jejak Pahlawan' edisi revisi II 2007. Disusun oleh J.B. Soedarmanta
- Buku: 'Album Pahlawan Bangsa' cetakan ke 18. Penerbit PT Mutiara Sumber Widya
- Buku: 'Wajah-Wajah Nasional' cetakan pertama. Disusun oleh: Solichin Salam.
- Buku: 'Jejak-Jejak Pahlawan' edisi revisi II 2007. Disusun oleh J.B. Soedarmanta
© ENSIKONESIA - ENSIKLOPEDI TOKOH
INDONESIA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
wilujeng ngawangkong