Sejumlah
pemikir dan tokoh di Indonesia pernah mengungkap teori “lapis-budaya”. Bahwa, kata
mereka, Pancasila sebenarnya digali dari bumi Indonesia asli. Bahkan, seorang
tokoh ternama, mengaku, ia menggali Pancasila dari bumi Indonesia yang paling
dalam, yakni zaman pra-Hindu.
Teori
“lapis budaya”, misalnya, pernah diungkap oleh Pendeta Dr. Eka Darmaputera,
dalam disertasi doktornya yang berjudul Pancasila and the Search for Identity
and Modernity, di Ph.D. Joint Graduate Program Boston and Andover Newton
Theological School, tahun 1982. Eka menyebutkan adanya tiga lapisan budaya di
Indonesia, yaitu Indonesia asli, India, dan Islam. Tentang lapisan asli
Indoenesia, Eka menyimpulkan:
“Lapisan asli Indonesia merupakan sesuatu yang amat sulit, bila tidak dapat dikatakan mustahil, untuk dijabarkan dengan lengkap dan pasti. Kesepakatan yang ada ialah, bahwa sebelum datangnya peradaban India ke Indonesia, ia telah mencapai tingkat kebudayaan yang relatif tinggi dan berakar cukup dalam. Secara umum, lapisan ini dapat digambarkan sebagai berikut: dasar peradabannya adalah pertanian (sawah dan ladang); struktur sosialnya adalah desa; kepercayaan agamaniahnya adalah animisme; …” (Eka Darmaputera, Pancasila: Identitas dan Modernitas (Jakarta: Badan Penerbit Kristen Gunung Mulia, 1997).
Upaya
untuk mengaitkan Indonesia dengan budaya asli pernah ditentang keras oleh Prof.
Sutan Takdir Alisyahbana. Tapi, tokoh Pujangga Baru ini justru mengajak bangsa
Indonesia untuk menengok ke Barat: “Dan sekarang ini tiba waktunya kita
mengarahkan mata kita ke Barat.” Namun, Takdir menepis tuduhan bahwa ia mengarahkan
Indonesia agar membebek pada Barat. Katanya: “Saya tidak pernah berkata, bahwa
generasi baru tidak usah tahu kebudayaan lama. Saya hanya berkata, bahwa
generasi baru harus bebas, jangan terikat kepada kebudayaan lama.”
(Lihat, buku Polemik Kebudayaan (Jakarta: Pustaka Jaya, 1977,
cet.ke-3).
Upaya
untuk membangun citra bahwa Indonesia mengalami zaman kejayaan saat berada di
zaman pra-Islam, secara sistematis dikembangkan oleh para orientalis. T. Ceyler
Young, seorang orientalis membuat
pengakuan: “Di setiap negara yang kami masuki, kami gali tanahnya untuk
membongkar peradaban-peradaban sebelum Islam. Tujuan kami bukanlah untuk
mengembalikan umat Islam kepada akidah-akidah sebelum Islam tapi cukuplah bagi
kami membuat mereka terombang-ambing antara memilih Islam atau
peradaban-peradaban lama tersebut”. (Muhammad Quthb, Perlukah Menulis Ulang
Sejarah Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995).
Mohammad
Natsir, seorang pahlawan nasional, menyebut upaya mengecilkan peran Islam
dalam sejarah Indonesia sebagai sebuah bentuk ”nativisasi”. Sejak usia
dini, anak-anak Muslim Indonesia sudah dicekoki dengan ajaran sejarah, bahwa
Indonesia pernah jaya di bawah Kerajaan Majapahit. Lalu, datanglah kerajaan
Islam, bernama Kerajaan Demak, menghancurkan kejayaan Hindu tersebut. Jadi,
seolah-olah hendak ditanamkan pada para siswa, bahwa kedatangan Islam tidak
membangun kejayaan Indonesia, tetapi justru menghancurkan kejayaannya. Islam
tidak pernah menjadi pemersatu bangsa. Majapahitlah yang menyatukan Indonesia.
Padahal, tidak ada bukti sejarah yang kuat, Majapahit pernah menyatukan seluruh
wilayah Nusantara.
Prof.
Dr. C.C. Berg melalui tulisan-tulisannya telah mengungkapkan, bahwa wilayah
Majapahit hanya meliputi wilayah Jawa Timur, Bali, dan Madura. Masuknya
wilayah-wilayah lain di Nusantara, hanya merupakan cita-cita, dan tidak pernah
masuk ke dalam wilayah Majapahit. (Lihat, Hasan Djafar, Masa Akhir Majapahit
(Depok: Komunitas Bambu, 2009).
Ada
juga cerita yang memposisikan Majapahit sebagai “penjajah”, sehingga muncul
perlawanan dari wilayah yang ditaklukkan. Babad Soengenep, misalnya,
menceritakan bagaimana proses penaklukan Majapahit atas Soengenep yang
berdarah-darah dan bangkitnya pahlawan setempat yang bernama Jaran Panole dalam
melawan agresi militer Majapahit yang dipimpin oleh Gajah Mada. Juga cerita
yang mendasari Perang Bubat yang merupakan kesalahan besar dalam diplomasi
Majapahit. Dimana terjadi kesepakatan antara Maharaja Pajajaran untuk
menikahkan putrinya dengan sang Prabu Hayamwuruk. Sang Maharaja Pajajaran kemudian
mengantarkan putrinya hingga ke sebuah gelanggang yang bernama Bubat. Sesuai
kebiasaan kuno, raja Sunda tersebut hendak menantikan kedatangan sang menantu
untuk menjemput mempelainya.
Padahal,
sejarah membuktikan, para ulama dan pendakwah Islam-lah yang menyatukan wilayah
Nusantara dalam satu agama, satu bahasa, dan satu pandangan alam (worldview).
Bahkan, penyatuan itu sampai meliputi wilayah Thailan Selatan, Filipina
Selatan, dan Malaka. Bahasa Melayu yang telah di-Islamkan menjadi alat pemersatu
bangsa yang efektif.
Keberadaan
dan penyebaran bahasa Melayu pernah dianggap sebagai ancaman bagi misi Kristen
oleh tokoh Jesuit, Frans van Lith (m. 1926).
Dalam bukunya, Orang-Orang Katolik di Indonesia, Karel A. Steenbrink, mengutip
ucapan van Lith: “Melayu tidak pernah bisa menjadi bahasa dasar untuk
budaya Jawa di sekolah-sekolah, tetapi hanya berfungsi sebagai parasit. Bahasa
Jawa harus menjadi bahasa pertama di Tanah Jawa dan dengan sendirinya ia akan
menjadi bahasa pertama di Nusantara.”
Kiprah
Pater van Lith dalam gerakan misi di Jawa digambarkan oleh Fl. Hasto
Rosariyanto, SJ dalam bukunya, Van Lith, Pembuka Pendidikan Guru di Jawa,
Sejarah 150 th Serikat Jesus di Indonesia (2009). Dalam buku ini diceritakan,
bahwa dalam suatu Kongres bahasa Jawa, secara provokatif van Lith
memperingatkan orang-orang Jawa untuk berbangga akan budaya mereka dan karena
itu mereka harus menghapus bahasa Melayu dari sekolah. Van Lith lebih suka
mempromosikan bahasa Belanda, karena dianggapnya sebagai bahasa kemajuan.
Misi
ini kemudian gagal. Pada 28 Oktober 1928, para pemuda Indonesia mengikrarkan
sumpah: Berbahasa satu, bahasa Indonesia. (***)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
wilujeng ngawangkong