Pria kelahiran Bantul, Yogyakarta, 18 September 1943, ini
seorang sejarawan beridentitas paripurna. Dia menyandang sejumlah identitas dan
julukan. Penulis lebih 50-an buku ini seorang guru besar, sejarawan, budayawan,
sastrawan, penulis-kolumnis, intelektual muslim, aktivis, khatib dan
sebagainya. Guru besar emeritus Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta, ini seorang yang sangat menghargai kearifan budaya Jawa, rendah
hati dan bisa bergaul dengan semua golongan. Dia seorang intelektual muslim
yang jujur dan berintegritas.
Kendati
menjalani hidup dalam keadaan sakit, semenjak mengalami serangan virus meningo
enchepalitis pada 6 Januari 1992, dia terus berkarya sampai detik-detik akhir
hayatnya. Prof Dr Kuntowijoyo, yang akrab dipanggil Pak Kunto, ini meninggal
dunia di Rumah Sakit Dr Sardjito Yogyakarta, Selasa 22 Februari 2005 pukul
16.00 akibat komplikasi penyakit sesak napas, diare dan ginjal.
Jenazahnya
disemayamkan di rumah duka Jl Ampelgading 429, Perumahan Condongcatur dan di
Balairung Universitas Gadjah Mada (UGM). Dikebumikan Rabu 23 Februari 2005 di
Makam Keluarga UGM di Sawitsari, Yogyakarta. Dia meninggalkan seorang istri,
Drs Susilaningsih MA yang dinikahi pada 8 November 1969, beserta dua putra,
yakni Ir Punang Amaripuja SE MSc (34) dan Alun Paradipta (22).
Tidaklah
terlalu membesar-besarkan, jika doktor ilmu sejarah dari Columbia University,
Amerika Serikat, ini dijuluki seorang sejarawan beridentitas paripurna. Karena
memang, dia menjalani hidup di beragam habitat dan identitas itu. Dia guru
besar sejarah di Universitas Gadjah Mada. Pengarang berbagai judul novel,
cerpen dan puisi. Pemikir dan penulis beberapa buku tentang Islam. Kolomnis di
berbagai media. Aktivis berintegritas di Muhammadiyah.
Sangat sering menjadi penceramah di masjid. Dan sebagainya, dan sebagainya.
Bayangkan,
kendati sebagaian hari-hari (puluhan tahun) dijalaninya dalam keadaan sakit,
dia telah menulis lebih 50 judul buku. Belum terhitung kolom-kolomnya di berbagai
media. Tak jarang pula bukunya mendapat acungan jempol dari berbagai kalangan
intelektual. Seperti buku, Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi (1991) dan
Identitas Politik Umat Islam, terbitan Mizan, Bandung, 1997. Sebuah penuangan
pemikiran yang mampu menerjemahkan konsep perjuangan ke dalam langkah nyata.
Sebagai
seorang sejarawan, dia sangat menghargai kearifan dan budaya Jawa. Kedalaman
pengetahuan tentang sejarah, memang mengajarkannya kearifan itu. Baginya,
belajar sejarah adalah proses belajar kearifan. Dia mengimplementasikan dalam
kesehariannya. Dia rendah hati dan bisa bergaul dengan semua golongan.
Selain
sebagai sastrawan dan budayawan yang arif, dia juga pemikir (intelektual) Islam
yang cerdas, jujur dan berintegritas. Buku-bukunya, seperti Paradigma Islam dan
Politik Islam, Intelektualisme Muhammadiyah:
Menyongsong Era Baru, Identitas Politik Umat Islam, sungguh mencerminkan
kecerdasan, kejujuran dan integritasnya sebagai seorang intelektual muslim.
Para mahasiswanya juga memandangnya seorang guru yang bijaksana. Meski dalam
kondisi sakit, ia tetap mau merelakan waktunya untuk membimbing mahasiswanya.
Selain
seorang sejarawan, Kunto juga seorang kiyai. Dia ikut membangun dan membina
Pondok Pesantren Budi Mulia tahun 1980 dan mendirikan Pusat Pengkajian Strategi
dan Kebijakan (PPSK) di Yogyakarta tahun 1980. Dia menyatu dengan pondok
pesantren yang menempatkan dirinya sebagai seorang kiai.
Dia
juga seorang aktivis Muhammadiyah.
Dia sangat lekat dengan Muhammadiyah. Dia pernah menjadi anggota PP
Muhammadiyah. Bahkan dia melahirkan sebuah karya Intelektualisme Muhammadiyah:
Menyongsong Era Baru. Ketua PP Muhammadiyah Prof Dr Syafii Maarif
menyebut Kunto merupakan sosok pemikir Islam dan sangat berjasa bagi
perkembangan Muhammadiyah. Menurut, Syafii, kritiknya sangat pedas tetapi
merupakan pemikiran yang sangat mendasar.
Muhammadiyah
dan Seni
Kuntowijoyo
lahir di Desa Ngawonggo, Kecamatan Ceper, Kabupaten Klaten, 18 September 1943.
Pendidikan SD dan SMP ditempuhnya di Sekolah Rakyat Negeri Klaten (1956) dan
SMP Negeri Klaten (1959). Lalu melanjut ke SMA Negeri Solo (1962). Kemudian
melanjutkan studinya di Fakultas Sastra UGM Yogyakarta (1969).
Kunto
meraih master di University of Connecticut, AS (1974) dan gelar doktor Ilmu
Sejarah dari Universitas Columbia, AS (1980) dengan disertasi Social Change in
an Agrarian Society: Madura 1850-1940.
Anak
kedua dari sembilan bersaudara ini dibesarkan di lingkungan Muhammadiyah dunia
seni. Ayahnya yang Muhammadiyah juga suka mendalang. Dia diasuh dalam kedalaman
relijius dan seni. Dua lingkungan yang sangat mempengaruhi pertumbuhannya
semasa kecil dan remaja.
Semasa
kuliah, dia sudah akrab dengan dunia seni dan teater. Dia bahkan pernah
menjabat sekretaris Lembaga Kebudayaan Islam (Leksi) dan ketua Studi Grup
Mantika, hingga 1971. Pada kesempatan ini, dia berkesempatan bergaul dengan
beberapa seniman dan budayawan muda, seperti Arifin C. Noer, Syu'bah Asa,
Ikranegara, Chaerul Umam
dan Salim Said.
Sementara
minat belajar sejarah sudah terlihat sejak kecil. Konon, saat belajar di
madrasah ibtidaiyah di sebuah desa di Klaten, Jawa Tengah (1950-1956), Kunto
kecil sangat kagum kepada guru mengajinya, Ustad Mustajab, yang piawai
menerangkan peristiwa tarikh (sejarah Islam) secara dramatik. Seolah dia dan
murid-murid lainnya ikut mengalami peristiwa yang dituturkan Sang Ustad itu.
Sejak itu, dia tertarik dengan sejarah.
Bakat
menulisnya juga tumbuh sejak masih duduk di bangku madrasah ibtidaiyah itu.
Gurunya, Sariamsi Arifin, seorang penyair dan Yusmanam, seorang pengarang.
Kedua guru inilah yang membangkitkan gairah menulis Kunto.
Dia pun mengasah kemampuan menulis dengan terus menulis.
Baginya, cara belajar menulis adalah banyak membaca dan menulis. Kunto, kemudian melahirkan sebuah novel berjudul Kereta
Api yang Berangkat Pagi Hari dimuat di Harian Jihad sebagai cerita bersambung.
Karya dan Penghargaan
Karya-karyanya
pun terus mengalir sampai menjelang akhir hayatnya. Lebih 50 buku telah
dirulisnya. Begitu juga cerpen dan kolom-kolomnya di berbagai media. Tak
sedikit di antaranya meraih hadiah dan pengharaan. Cerita pendeknya, Dilarang
Mencintai Bunga-Bunga (1968), memenangkan penghargaan pertama dari sebuah
majalah sastra.
Kemudian
kumpulan cerpennya yang diberi judul sama Dilarang Mencintai Bunga-Bunga,
mendapat Penghargaan Sastra dari Pusat Bahasa (1994). Anjing-Anjing Menyerbu
Kuburan, mendapat penghargaan sebagai cerpen terbaik versi Harian Kompas
berturut-turut pada 1995, 1996 dan 1997.
Novel
Pasar meraih hadiah Panitia Hari Buku, 1972. Naskah dramanya berjudul
Rumput-Rumput Danau Bento (1968) dan Topeng Kayu (1973) mendapatkan penghargaan
dari Dewan Kesenian Jakarta. Penghargaan Kebudayaan diterima dari ICMI (1995),
Satyalencana Kebudayaan RI (1997), ASEAN Award on Culture and Information
(1997), Mizan Award (1998), Kalyanakretya Utama untuk Teknologi Sastra dari
Menristek (1999) dan FEA Right Award Thailand (1999).
Juga
menerima penghargaan dari Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia
(1999). Novelnya, yang pernah menjadi cerita bersambung di harian Kompas,
berjudul Mantra Pejinak Ular, ditetapkan sebagai satu di antara tiga pemenang
Hadiah Sastra Majelis Sastra Asia Tenggara (Mastera) pada 2001.
Sementara,
karya-karya intelektualnya antara lain Demokrasi dan Budaya (1994), Pengantar
Ilmu Sejarah (1995), Metodologi Sejarah (1994), dan Radikalisme Petani (1993).
Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi (1991) dan Identitas Politik Umat
Islam, terbitan Mizan, Bandung, 1997.
Dukungan
Susilaningsih
Pernikahannya
dengan Susilaningsih, dikaruniai dua anak yakni Punang Amari Puja (dosen UMY)
dan Alun Paradipta (mahasiswi Fakultas Teknik UGM). Perempuan yang akrab dengan
baju muslimah ini dikenal sejak 1967. Saat itu mereka secara kebetulan bersua
di Rumah Sakit Bethesda, Yogyakarta, tempat Kunto sedang dirawat karena
penyakit batu ginjal. Ning, gadis asli Karanganyar, Jawa Tengah, sedang
menjenguk temannya yang sakit dan dirawat di rumah sakit itu.
Ketika
itu, Ning, panggilan akrab Susilaningsih, masih kuliah tingkat II di IAIN Sunan
Kalijaga. Dua tahun kemudian, tepatnya 8 November 1969, mereka menikah.
Sejak
1985, keluarga bersahaja ini menempati rumah bertipe 70 di Jalan Ampel Gading
429, Condong Catur, Sleman, Yogyakarta. Pada waktu itu, rumah itu dibeli dengan
harga Rp 4,5 juta. Belakangan rumah itu diperluas menjadi sekitar 180 meter
persegi dan berlantai dua. Ruang tamunya yang berukuran sekitar 4 X 5 meter
hanya diisi dengan meja kursi tamu warna cokelat tua. Tak ada lukisan di
dinding dan perabotan mahal.
Harta yang paling mahal di rumah itu hanyalah tumpukan buku
dan piala-piala penghargaan untuk karya-karya tulisnya. Ruang perpustakaan di lantai
atas penuh sesak dengan buku. Ruang keluarga, ruang tamu, lantai atas dan
lantai bawah juga dijejali buku. Meja dan tangga ke lantai atas pun berisi
buku-buku.
Isterinya,
Ning, yang kini menjadi dosen Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga Jogja, juga telah
menyelesaikan studi Psychology Department, Hunter College of The City
University of New York, tahun 1980.
Dukungan
Susilaningsih Kuntowijoyo MA, sang istri yang dengan sabar dan tekun menemani,
telah menjadi kekuatan dan inspirasi tersendiri bagi Kunto. Ketika Kunto jatuh
sakit dan sulit melafalkan kalimat-kalimat dengan jelas, Ning, yang selalu
setia mendampingi menerima tamu, sekaligus menjadi penerjemah ucapan-ucapannya.
Begitu
juga ketika wawancara dengan wartawan. Ning juga yang membacakan makalah Kunto
dalam berbagai forum seminar. Jika Ning berhalangan, putra sulungnya, Punang,
yang sedang menyelesaikan studinya di Jurusan Geologi UGM, menggantinya sebagai
penerjemah.
Adalah
Ning juga yang selalu setia menadampinginya melakukan olah raga senam, jogging
atau jalan kaki. Sekali dua hari, dia berolah raga. Kunto biasanya sudah bangun
tidur sekitar pukul 03.30. Kemudian salat tahajud, salat fajar dan berzikir.
Selepas itu, dia menulis sampai beduk subuh. Setelah salat subuh, meneruskan
menulis lagi. Kala jadual jalan pagi, dua hari sekali, setelah salat subuh, ia
berjalan-jalan untuk melemaskan otot kakinya sampai sejauh 5 kilometer,
kegiatan menulis juga dilanjutkan lagi setelah jalan pagi. Siang hari, dia
tidur siang. Sorenya, ia kembali menulis. Beristerahat sejenak dan sehabis
salat isya, menulis lagi sampai tengah malam, bahkan kadang-kadang hingga pukul
02.00.
Namun,
di tengah keasyikannya menulis, Kunto juga senang menonton acara pertandingan
tinju dan film koboi di televisi. Pada saat menonton dan ke mana pun perginya,
ia selalu mengantongi sebuah notes untuk mencatat ide-ide yang secara kebetulan
muncul. Novel Khotbah di Atas Bukit (1976) yang menjadi master piece-nya,
ternyata ditulisnya hanya sambil lalu di sela-sela waktu mengajar.
Menurut
Ning, hingga menjelang akhir hayat, Kunto masih menulis. Minggu pagi mereka
setelah jalan-jalan ke rumah ibunya di Klitren, lalu putar-putar ke Nogotirto
melihat tanah milik anaknya. Setelah pulang masih sempat mengetik, melanjutkan
menulis buku Mengalami Sejarah. Bahkan, Kunto juga bercerita ingin menulis buku
tentang Muhammadiyah untuk menyambut muktamar.
Hampir
tidak ada tanda-tanda dia akan pergi selamanya dalam waktu dekat. Aktivitas
kesehariannya hingga Minggu malam 20 Februari 2005 masih biasa-biasa. Bahkan
pada Sabtu, masih sempat ke kampus untuk menanyakan syarat kenaikan pangkat IV
D-nya. Minggu masih berkunjung ke adiknya yang hamil tua.
Pada
Minggu itu, Kunto berangkat tidur pukul 22.30. Rasa sakit di pinggang baru
dirasakan pada pukul 24.00. Ning mencoba mengobati. Tapi, pukul 03.00 Senin 21
Februari 2005, dia menderita diare. Lalu dia dibawa ke Rumah Sakit Sardjito.
Dirawat di Paviliun Cendrawasih hingga sore. Sekitar pukul 20.00, kondisinya
menurun dan harus dirawat di intensive care unit (ICU). Selasa 22 Februari 2005
pukul 16.00 dia menghembuskan nafas terakhir. TI
© ENSIKONESIA - ENSIKLOPEDI TOKOH
INDONESIA
Prof Dr Kuntowijoyo
Lahir: Bantul, Yogyakarta, 18
September 1943
Meninggal: Yogyakarta, 22 Februari
2005
Pekerjaan: Pendiri Pusat Pengkajian
Strategi dan Kebijakan (PPSK), 1980
Agama: Islam
Isteri: Drs Susilaningsih MA
(Menikah 8 November 1969)
Anak:
- Ir Punang Amaripuja SE MSc
- Alun Paradipta
Pendidikan:
- S3 (Doktor) Ilmu Sejarah dari Universitas Columbia, AS (1980)
- S2 (MA) Universisity of Connecticut, AS (1974)
- S1 (Sarjana) Fakultas Sastra UGM, Yogyakarta (1969)
- SMAN, Surakarta (1962)
- SMPN, Klaten (1959)
- SRN, Klaten (1956)
Karir:
- Dosen Fakultas Sastra UGM (1970-2005)
- Asisten Dosen Fakultas Sastra UGM (1965-1970)
Kegiatan Lain:
- Pendiri Pusat Pengkajian Strategi dan Kebijakan (PPSK) di Yogyakarta (1980)
- Pendiri Pondok Pesantren Budi Mulia (1980)
- Ketua Studi Grup Mantika (1969-1971)
- Sekretaris Lembaga Seni & Kebudayaan Islam (1963-1969)
Karya:
- Esai-Esai Budaya dan Politik 2002
- Demokrasi dan Budaya (1994)
- Pengantar Ilmu Sejarah (1995)
- Metodologi Sejarah (1994)
- Radikalisme Petani (1993)
- Identitas Politik Umat Islam
- Intelektualisme Muhammadiyah: Menyongsong Era Baru
- Dinamika Sejarah Umat Islam Indonesia, Shalahuddin Press, 1985
- Kumpulan puisi Daun Makrifat Makrifat Daun (1995)
- Suluk Awang-Uwong, Budaya Jaya (1975)
- Isyarat, Pustaka Jaya (1976)
- Khotbah Di Atas Bukit, Pustaka Jaya (1976)
Penghargaan:
- Hadiah Sastra dari Majelis Sastra Asia Tenggara (Mastera) atas novel Mantra Pejinak Ular (2001)
- Naskah drama Rumput-Rumput Danau Bento (1968) dan Topeng Kayu (1973) mendapatkan penghargaan dari Dewan Kesenian Jakarta.
- Novel Pasar meraih hadiah Panitia Hari Buku, 1972
- Cerpen Dilarang Mencintai Bunga-Bunga (1968), memenangkan penghargaan pertama dari sebuah majalah sastra
- Anjing-Anjing Menyerbu Kuburan, cerpen terbaik versi Harian Kompas berturut-turut pada 1995, 1996 dan 1997
- FEA Right Award Thailand (1999)
- Kalyanakretya Utama untuk Teknologi Sastra dari Menristek (1999)
- Mizan Award (1998)
- ASEAN Award on Culture and Information (1997)
- Satyalencana Kebudayaan RI (1997)
- Penghargaan Kebudayaan ICMI (1995)
Alamat Rumah:
Jalan Ampelgading 429 Perumnas UGM
Condongcatur, Sleman, Yogyakarta
Pusat Data Tokoh Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
wilujeng ngawangkong