Bandung Lautan api adalah peristiwa paling heroik yang
terjadi di Bandung pada masa memperebutkan kemerdekaan. Adalah Mohammad Toha
sebagai sosok penting dalam peristiwa tersebut.
Toha dilahirkan di Jalan Banceuy, Desa Suniaraja, Kota
Bandung pada tahun 1927. Ayahnya
bernama Suganda dan ibunya yang berasal dari Kedunghalang, Bogor Utara, Bogor,
bernama Nariah. Toha menjadi anak yatim ketika pada tahun 1929 ayahnya
meninggal dunia. Ibu Nariah kemudian menikah kembali dengan Sugandi, adik ayah
Toha. Namun tidak lama kemudian, keduanya bercerai dan Muhammad Toha diambil
oleh kakek dan neneknya dari pihak ayah yaitu Bapak Jahiri dan Ibu Oneng. Toha
mulai masuk Volk School (Sekolah Rakyat) pada usia 7 tahun hingga kelas 4.
Sekolahnya terhenti ketika Perang Dunia II pecah.
Saat
masa pendudukan Jepang, Toha mulai mengenal dunia militer dengan memasuki
Seinendan. Sehari-hari Toha juga membantu kakeknya di Biro Sunda, kemudian
bekerja di bengkel motor di Cikudapateuh. Selanjutnya, Toha belajar menjadi
montir mobil dan bekerja di bengkel kendaraan militer Jepang sehingga ia juga
mampu bercakap dalam bahasa Jepang.
Setelah
Indonesia merdeka, Toha terpanggil untuk bergabung dengan badan perjuangan
Barisan Rakjat Indonesia (BRI), yang dipimpin oleh Ben Alamsyah, paman Toha
sendiri. BRI selanjutnya digabungkan dengan Barisan Pelopor yang dipimpin oleh
Anwar Sutan Pamuncak menjadi Barisan Banteng Republik Indonesia (BBRI). Dalam
laskar ini ia duduk sebagai Komandan Seksi I Bagian Penggempur. Menurut
keterangan Ben Alamsyah, paman Toha, dan Rachmat Sulaeman, tetangga Toha dan
juga Komandannya di BBRI, pemuda Toha adalah seorang pemuda yang cerdas, patuh
kepada orang tua, memiliki disiplin yang kuat serta disukai oleh
teman-temannya.
Setelah
penandatanganan perjanjian kapitulasi Jepang, seluruh persenjataan Tentara
Kekaisaran Jepang diserahkan tanpa syarat kepada Tentara Sekutu yang akan
mengembalikan kekuasaan Belanda di Hindia-Belanda. Namun persenjataan Tentara
Kekaisaran Jepang banyak direbut oleh pejuang kemerdekaan Republik Indonesia.
Pada tanggal 21 November 1945, Tentara Sekutu mengeluarkan ultimatum pertama
agar kota Bandung bagian utara dikosongkan oleh pihak Republik Indonesia
selambat-lambatnya tanggal 29 November 1945. Para milisi dan pejuang
kemerdekaan Republik Indonesia harus menyerahkan senjata yang mereka rampas
dari Tentara Kekaisaran Jepang. Karena apabila ultimatum penyerahan tersebut
tidak diindahkan, tentara Sekutu akan mengambil tindakan militer untuk
menegakkan tujuan tersebut.
Peringatan
ini tidak dihiraukan oleh pihak tentara Republik. Sejak saat itu sering terjadi
bentrokan senjata dengan tentara Sekutu. Kota Bandung terbagi menjadi dua,
Bandung Utara dan Bandung Selatan. Oleh karena persenjataan yang tidak memadai,
pasukan TKR dan para pejuang lainnya tidak dapat mempertahankan Bandung Utara.
Akhirnya Bandung Utara dikuasai oleh tentara Sekutu.
Pada
tanggal 23 Maret 1946 tentara Sekutu kembali mengeluarkan ultimatum ke-2.
Mereka menuntut agar semua masyarakat dan pejuang TKR mengosongkan kota Bandung
bagian selatan. Perlu diketahui bahwa sejak 24 Januari 1946, TKR telah mengubah
namanya menjadi TRI.
Demi
mempertimbangkan politik dan keselamatan rakyat, pemerintah memerintahkan TRI
dan para pejuang lainnya untuk mundur dan mengevakuasi Bandung Selatan. setelah
mengadakan musyawarah, para pejuang sepakat untuk menuruti perintah pemerintah.
Tapi mereka tidak mau menyerahkan kota Bandung bagian selatan itu secara utuh.
Rakyat
pun diungsikan ke luar kota Bandung. Para anggota TRI dengan berat hati
meninggalkan Bandung bagian selatan. Sebelum ditinggalkan Bandung Selatan
dibumihanguskan oleh para pejuang dan anggota TRI. Peristiwa ini di kenal
dengan sebutan “Bandung Lautan Api”. Dalam rangkaian peristiwa tersebut Toha
gugur dalam misinya menghancurkan gudang amunisi Tentara Sekutu. Dalam peristiwa
ini juga terlahir lagu Halo, Halo Bandung yang dinyanyikan para tentara
Republik dalam penantian mereka untuk kembali ke rumah mereka di Bandung.
(Dari
berbagai sumber)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
wilujeng ngawangkong