Senin, 21 Januari 2013, 09:51 WIB
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Nashih Nashrullah
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Nashih Nashrullah
Belia
yang tengah tumbuh dan sangat sensitif sering terkejut dengan hantu yang
misterius. Demikian Cendekiawan Muslim Sayyid Quthub menyebut saudari
bungsunya, Hamidah Quthub.
Memori
itu diabadikan di sebuah buku bercorak sastrawi dan terbit pada 1945. Judulnya
Empat Spektrum (al-Athyaf al-Arba'ah), sebuah buku catatan hasil karya empat saudara, Sayyid, Muhammad, Aminah,
dan Hamidah. Keempat bersaudara terkenal kekompakannya. Mereka bersama-sama
mengkaji ilmu dan berdakwah. Bahkan, tak gentar menghadapi ujian.
Hamidah
terkenal sebagai sosok daiyah (sebutan untuk dai perempuan—Red) yang gigih
memperjuangkan kebenaran. Tokoh kelahiran Kairo, 1937 ini, memulai karier
dakwahnya sejak bergabung dengan Ikhwanul Muslimin (IM). Ketertarikannya
terhadap kelompok yang dibentuk oleh Syahid Hasan al-Banna itu berawal ketika
sang kakak, Sayyid Quthub, bergabung dengan jamaah tersebut pasca kembali dari
Amerika Serikat.
Hamidah
getol mensyiarkan Islam, memberdayakan masyarakat, dan melawan kezaliman.
Bersama sejumlah daiyah, ia mengemban misi mulia itu. Salah satunya ialah
Zainab al-Ghazali.
Pada 1954, rezim Gamal Abd El-Nasir menangkap sebagian besar anggota IM. Sang kakak, Sayyid Quthub, turut diciduk oleh penguasa zalim tersebut. Mereka divonis dengan sanksi yang beragam. Ada yang dihukum seumur hidup. Tak sedikit yang dijatuhi hukuman mati.
Pada 1954, rezim Gamal Abd El-Nasir menangkap sebagian besar anggota IM. Sang kakak, Sayyid Quthub, turut diciduk oleh penguasa zalim tersebut. Mereka divonis dengan sanksi yang beragam. Ada yang dihukum seumur hidup. Tak sedikit yang dijatuhi hukuman mati.
Hamidah
tidak tinggal diam. Semangatnya tak luntur. Ia terpanggil untuk berbuat
sesuatu. Bersama beberapa tokoh, seperti Aminah Ali, Naimah Khathab, Zainab
al-Ghazali, dan Khalidah al-Hudhaibi, Hamidah mendampingi dan mengurus keluarga
para anggota IM yang ditahan.
Ia
memiliki andil yang besar dalam proses Gerakan (tandhim) IM 1965.
Embrio gerakan itu telah muncul pada 1957. Sayyid Quthub terpilih sebagai
penanggung jawab dan koordinator gerakan tersebut. Padahal, penulis Tafsir Fi
Dhilal Alquran itu berada di balik jeruji besi.
Untuk
kelancaran informasi dengan para anggota di luar sel, Hamidah ditunjuk sebagai
informan. Usianya kali itu masih 21 tahun. Tak mudah berposisi sebagai utusan
kala itu. Prosedur penjara sangat ketat, bahkan nyaris berubah setiap waktu.
Tak jarang, terpaksa menunggu selama lima jam di luar penjara. Tak ada tempat
berteduh, di bawah sinar matahari yang menyengat. Hanya untuk satu tujuan,
bertemu dengan sang kakak yang divonis 15 tahun penjara.
Kondisi itu berlangsung hingga 1965. Gerakan revolusi untuk menggulingkan tiran yang zalim gagal. Pada tahun yang sama, seluruh anggota keluarga Quthub ditangkap. Mereka mendapat siksaan pedih. Pada tahun itu juga, Pengadilan Mesir yang dipimpin oleh Muhammad Fuad ad-Dajawi menjatuhkan vonis mati terhadap Sayyid Quthub. Keputusan dari tiran zalim. Sebuah catatan merah, sejarah kelam Mesir modern.
Kondisi itu berlangsung hingga 1965. Gerakan revolusi untuk menggulingkan tiran yang zalim gagal. Pada tahun yang sama, seluruh anggota keluarga Quthub ditangkap. Mereka mendapat siksaan pedih. Pada tahun itu juga, Pengadilan Mesir yang dipimpin oleh Muhammad Fuad ad-Dajawi menjatuhkan vonis mati terhadap Sayyid Quthub. Keputusan dari tiran zalim. Sebuah catatan merah, sejarah kelam Mesir modern.
Demikian
pula Hamidah. Ia mendekam di penjara selama enam tahun empat bulan. Ini
ditambah dengan hukuman kerja rodi selama sepuluh tahun. Saat itu, ia masih
gadis dan berumur 29 tahun. Keimanannya tak luntur sedikit pun. Justru,
keyakinannya bertambah. Ia mampu
menghafal Alquran 30 juz selama di penjara. Cobaan itu berakhir ketika ia
dinyatakan keluar penjara pada 1972. Selang beberapa saat, ia menikah dengan
seorang dokter spesialis jantung, Prof Hamdi Mas'ud.
Kesan suami
Pasangan
suami-istri tersebut berhijrah ke Paris, Prancis. Hamidah tetap berdakwah di
negara tersebut. Ia mempersilakan Muslimah belajar di tempat tinggalnya. Ia
tetap kuat memegang prinsip. Ia menolak melepaskan jilbab untuk mendapatkan perpanjangan
visa. Pemerintah setempat akhirnya berkompromi, dan memberikan keleluasaan
baginya untuk tetap berhijab. Demikian pula Muslimah yang lain.
Di
mata sang suami, yaitu Prof Hamdi Mas'ud, ada dua peristiwa yang
menunjukkan spiritualitas dan keimanan Hamidah yang tinggi. Deraan cobaan yang
menimpa dirinya dan anggota keluarganya tak membuatnya mundur untuk melawan
kezaliman.
Yang
pertama, ia tabah saat saudara sepersusuannya, Rifat Bakar Syafi', meninggal
akibat siksaan di penjara oleh rezim Gamal Abd El-Nasir. Mayoritas keluarganya
mendapat intimidasi. Tak sedikit yang menemui ajal mereka. Termasuk, kakaknya
sendiri, Sayyid Quthub. Beberapa saat menjelang hukum gantung dilaksanakan atas
saudaranya itu, ia menemui kakak tercintanya itu. Detik-detik terakhir ia
berbicara dan bertatap muka. “Betapa saya rasakan keteguhan imannya,” kata sang
suami. Pada Selasa, 17 Juli 2012, daiyah yang terkenal sastrawan ini menghadap
Sang Khalik. Kematiannya tersebut akibat penyakit usus buntu akut yang ia
derita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
wilujeng ngawangkong