Pada jum’at, 22 Maret 2013, PW.Pemuda Persis Jawa Barat mengutus penulis melakukan jaulah (bina desa) ke Pimpinan Cabang Persatuan Islam (Persis)
Sukanagara, dengan alamat Kampung Cibuluh, Desa Sukakarya, jalan Kadupandak, Cianjur
Selatan.
Selain mengisi pengajian umum[1]
di Cibuluh tersebut, penulis sempat berbincang-bincang dengan Ketua PC, H.
Rahmat dan 5 anggota Persis lainnya, terkait dengan kondisi real, dan
permasalahan yang ada di PC tersebut. Berikut penulis kutip dari permasalahan
disana; baik yang berkaitan dengan pribadi maupun dengan jam’iyyah.
Dari permasalahan pribadi ada 2
macam: pertama, ada kasus saudaranya
yang menikahkan putranya yang menetap di Bandung dengan istri yang berdomisili
di Purbalingga, dengan akad nikah di pihak laki-laki (mulung mantu), di Bandung. Permasalahannya adalah terkait dengan
administrasi terhadap penghulu/pegawai KUA yang tidak biasanya, yakni calon
pengantin di tarif Rp. 2.000.000 (dua
juta rupiah). Maka penulis mengomentari bahwa itu merupakan salah satu masalah
birokrasi di Negara kita; dalam UU segitu, tapi dalam realita dilapangan jauh
lebih besar. Kalau tidak diikuti, maka biasanya prosesnya akan dipersulit.
Kedua, kasus
ongkos naik haji (onh), dimana saudaranya yang sudah mendaftar, dengan daftar
tunggu tahun 2015, ternyata calon haji tersebut meninggal dunia dan ia sudah
menyetor sekira 35.000.000 (tiga puluh
lima juta rupiah), maka atas wasiat dari almarhum, bila ia meninggal dunia,
ia memohon agar uang onh tersebut disalurkan ke Panti Asuhan, anak yatim yang
ia tunjuk.
Namun dalam proses pengambilan uang tersebut sangat
sulit, dimana pegawai dinas yang berkaitan mencari cara untuk mempersulit
pengambilan, dengan cara mengajukan persyaratan-persyaratan (tek-tek beungék), sehingga keluarga
korban memakai jasa pengacara, sampai hari ini untuk sidang saja sudah
menghabiskan uang Rp. 5.000.000 (lima
juta rupiah), dan belum membuahkan hasil (untuk pengambilan kembali uang
tersebut).
Maka penulis sarankan adalah: 1. kita harus tahu dulu UU yang berkaitan dengan kasus tersebut, agar
menjadi dalil dalam persidangan, resikonya kita harus mengeluarkan kocek lagi untuk biaya persidangan dan tek-tek beungék tadi. Atau ke 2, jalan (Syetan)
yang ditempuh untuk birokrasi kita adalah dengan cara menyuap, dan resikonya
adalah neraka, karena ini masuk kategori riswah
yang dilarang Allah Swt dan Rasulullah Saw. “Rasulullah
Saw melaknat orang yang menyuap dan yang menerima suap” (H.r. Abu Daud).
Atau cara yang ke 3, dengan cara mengirim pengajuan ke http://haji.kemenag.go.id, bila tidak ada
respon, bisa mengirim ke Koran dalam rubrik pembaca atau dengan ‘curhat’
dijejaring sosial, millis grup atau blog, resikonya adalah bisa dipidanakan
oleh pihak terkait, seperti yang terjadi pada Prita Mulyasari, atau kalau pihak
terkait éling (sadar) atau takut
atasan, uang tersebut akan kembali.
Adapun masalah yang berkaitan
dengan jam’iyyah adalah sebagai
berikut: pertama, daerah Cibuluh
ternyata dikepung oleh berbagai aliran sempalan dan non muslim, diantaranya ada
IJABI (Syi’ah), LDII, Nashrani dan lain sebagainya, yang berarti ini merupakan
tantangan dakwah yang sangat berat, apalagi kelompok-kelompok tersebut didukung
dengan finansial dan power (diantaranya ada yang menjadi bos perkebunan),
sehingga masyarakat awam akan lebih tertarik kepada mereka, disebabkan
kebutuhan hidup mereka terpenuhi, dibanding dengan kelompok yang bernafaskan
al-Qur’an dan al-Hadis.
Permasalahan kedua adalah anggota dan simpatisan Persis harus membagi waktu
antara jam’iyyah dan Maisyah, disinilah problemnya, ketika
anggota bekerja di pabrik (perkebunan) yang dikuasai oleh aliran sempalan atau
non muslim, maka ditakutkan aqidah harus goyah dengan iming-iming kebutuhan
hidup, maka untuk mensiasatinya, mereka
harus bekerja diluar daerah, seperti di Bandung, hingga anggota disana harus
‘meroling’ dengan anggota yang lain, antara mencari nafkah dan menghidupkan jam’iyyah.
Oleh sebab itu Ketua PC meminta
agar jam’iyyah, khususnya masjid dan madrasah terurus dengan tidak
menelantarkan anak-istri. Walaupun demikian, Alhamdulillah sampai saat ini kegiatan pengajian sehabis jum’atan
dan pengajian bulanan yang dibina langsung oleh PW masih tetap berjalan, serta
pembinaan anak-anak di madrasah masih bisa dilaksanakan, namun itu juga gurunya
harus pulang pergi keluar daerah, untuk mencari nafkah, yakni 3 bulan ia
mengajar, dan 3 bulan berikutnya bekerja di Bandung, untuk menutupi kebutuhan
hidup 3 bulan berikutnya.
Demikian oleh-oleh jaulah dari
Cibuluh, mudah-mudahan masyarakat Cibuluh khususnya tetap istiqomah menjalankan
aqidah dan Ibadah yang selaras dengan Qur’an-Sunnah dengan tidak menafikan
keberadaan ekonominya. Mudah-mudahan tulisan ini menjadi fasilitator para aghnia agar menyalurkan infak dalam bentuk
pembangunan ekonominya; bisa dengan menanam modal disana dengan berbagai hasil
perkebunan, supaya menjadi mata pencaharian masyarakat disana. Dengan begitu
mereka tidak harus pergi keluar daerah untuk mencari nafkah, dengan begitu pula
mereka bisa menghidupakan jam’iyyah.
[1]
Penulis mengambil tema : “Ibrah Sirah
Nabawiyah, Upaya Menghidupkan Qur’an-Sunnah dalam Bingkai Jami’yyah”
Makasih informasinya Mas, salam kenal.
BalasHapus