Sahabat
yang mulia ini bernama :KHALID BIN ZAID BIN KULAIB dari Bani Najjar. Gelarnya
Abu Ayyub, dan golongan Anshar. Siapakah di antara kaum muslimin yang belum mengenal
Abu Ayyub Al-Anshary?
Nama
dan derajatnya dimuliakan Allah di kalangan makhluk, baik di Timur maupun di
Barat. Karena Allah telah memilih rumahnya di antara sekalian rumah kaum
muslimin, untuk tempat tinggal Nabi-Nya yang mulia, ketika beliau baru tiba di
Madinah sebagai Muhajir. Hal ini cukup membanggakan bagi Ayu Ayyub.
Bertempatnya Rasulullah di rumah Abu Ayyub merupakan kisah manis untuk diulang-ulang dan enak untuk dikenang-kenang.
Setibanya
Rasulullah di Madinah, beliau disambut dengan hati terbuka oleh seluruh penduduk,
beliau dielu-elukan dengan kemuliaan yang belum pernah diterima seorang tamu atau
utusan manapun. Seluruh mata tertuju kepada beliau memancarkan kerinduan
seorang kekasih kepada kekasihnya yang baru tiba. Mereka membuka hati
lebar-lebar untuk menerima kasih sayang Rasulullah. Mereka buka pula pintu
rumah masing-masing, supaya kekasih mulia yang drindukan itu sudi bertempat
tinggal di rumah mereka.
Sebelum
sampai di kota Madinah, beliau berhenti lebih dahulu di Quba selama beberapa hari.
Di kampung itu beliau membangun masjid yang pertama-tama didirikan atas dasar
taqwa. Sesudah itu beliau meneruskan perjalanan ke kota Yatsrib mengendarai
unta. Para pemimpin Yatsrib berdiri sepanjang jalan yang akan dilalui beliau
untuk kedatangannya. Masing-masing berebut meminta Rasulullah tinggal di
rumahnya. Karena itu Sayyid demi Sayyid menghadang dan memegang tali untuk
beliau untuk membawanya ke rumah mereka.
“Ya,
Rasulullah! Sudilah Anda tinggal di rumah saya selama Anda menghendaki. Akomodasi.
dan keamanan Anda terjamin sepenuhnya.” kata mereka berharap. Jawab Rasulullah,
“Biàrkanlah unta itu berjalan ke mana dia mau, karena dia sudah mendapat
perintah.”
Unta
Rasulullah terus berjalan diikuti semua mata, dan diharap-harapkan seluruh
hati. Bila untuk melewati sebuah rumah, terdengar keluhan putus asa pemiliknya,
karena apa yang diangan-angankannya ternyata hampa.
Unta
terus berjalan melenggang seenaknya. Orang banyak mengiringi di belakang. Mereka
ingin tahu siapa yang beruntung rumahnya ditempati tamu dan kekasih yang mulia
ini. Sampai di sebuah lapangan, yaitu di muka halaman rumah Abu Ayyub
Al-Anshary unta itu berlutut. Rasulullah tidak segera turun dan punggung unta.
Unta itu disuruhnya berdiri dan berjalan kembali. Tetapi setelah
berkeliling-keliling, untuk berlutut kembali di tempat semula.
Abu
Ayyub mengucapkan takbir karena sangat gembira. Dia segera mendekati Rasulullah
dan melapangkan jalan bagi beliau. Diangkatnya barang-barang beliau dengan
kedua tangannya, bagaikan mengangkat seluruh perbendaharaan dunia. Lalu
dibawanya ke rumahnya Rumah Abu Ayyub bertingkat tingkat atas dikosongkan dan
dibersihkannya untuk tempat tiniggal Rasulullah. Tetapi Rasulullah lebih suka
tinggal di bawah. Abu Ayyub menurut saja di mana beliau senang.
Setelah
malam tiba, Rasulullah masuk ke kamar tidur. Abu Ayyub dan isterinya naik ke
tingkat atas. Ketika suami isteri itu menutupkan pintu, Abu Ayyub berkata kepada
isterinya, “Celaka....! Mengapa kita sebodoh ini. Pantaskah Rasulullah
bertempat di bawah, sedangkan kita berada lebib tinggi dari beliau” Pantaskah
kita berjalan di atas beliau? Pantaskah kita mengalingi antara Nabi dan Wahyu?
Niscaya kita celaka!”
Kedua
suami isteri itu bingung, tidak tahu apa yang harus diperbuat Tidak berapa lama
berdiam diri, akhirnya mereka memilih kamar yang tidak setenang dengan kamar
Rasulullah. Mereka berjalan benjingkit-jingkit untuk menghindarkan suara
telapak kaki mereka. Setelah hari Subuh, Abu Ayyub berkata kepada Rasulullah
kami tidak mau terpejam sepicing pun malam ini. Baik aku maupun ibu Ayyub”
“Mengapa
begitu?” tanya Rasulullah
“Aku
ingat, kami berada di atas sedangkan Rasulullah Yang kami muliakan berada
dibawah. Apabila bergerak sedikit saja, abu berjatuhan mengenai Rasulullah. Di
samping itu kami mengelingi Rasulullah dengan wahyu,” kata Abu Ayyub
menjelaskan “Tenang sajalah, hai Abu Ayyub. Saya lebih suka bertempat tinggal
di bawah, karena akan banyak tamu yang datang berkunjung.”
Kata
Abu Ayyub, “Akhirnya saya mengikuti kemauan Rasulullah. Pada suatu malam yang
dingin, bejana kami pecah di tingkat atas, sehingga airnya tumpah. Kain lap
hanya ada sehelai, karena itu air yang kami keringkan dengan baju, kami sangat
kuatir kalau air mengalir ke tempat Rasulullah. Saya dan Ibu Ayyub bekerja
keras mengeringkan air sampai habis. Setelah hari Subuh saya pergi menemui
Rasulullah.
Saya
berkata kepada beliau, “Sungguh mati, saya segan bertempat tinggal di atas, sedangkan
Rasulullah tinggal di bawah”.
Kemudian
Abu Ayyub menceritakan kepada beliau perihal bejana yang pecah itu. Karena itu
Rasulullah memperkenankan kami pindah ke bawah dan beliau pindah ke atas. Rasulullah
tinggal di rumah Abu Ayyub kurang lebih tujuh bulan. Setelah masjid Rasulullah
selesai dibangun, beliau pindah ke kamar-kamar yang dibuatkan untuk beliau dan para
isteri beliau sekitar masjid. Sejak pindah dari rumah Abu Ayyub, Rasulullah
menjadi tetangga dekat bagi Abu Ayyub. Rasulullah sangat menghargai Abu Ayyub
suami isteri sebagai tetangga yang baik.
Abu
Ayyub mencintai Rasulullah sepenuh hati. Sebaliknya beliau mencintainya pula, sehingga
mereka saling membantu setiap kesusahan masing-masing. Rasulullah memandang rumah
Abu Ayyub seperti rumah sendiri.
Ibnu
‘Abbas pernah bercerita sebagai berikut: Pada suatu hari di tengah hari yang
amat panas, Abu Bakar pergi ke masjid, lalu bertemu dengan ‘Umar ra.
“Hai,
Abu Bakar! Mengapa Anda keluar di saat panas begini?”, tanya Umar.
Jawab
Abu Bakar, “Saya lapar!”
Kata
‘Umar, “Demi Allah! Saya juga lapar.”
Ketika
mereka sedang berbincang begitu, tiba-tiba Rasulullah muncul.
Tanya
Rasulullah, “Hendak kemana kalian di saat panas begini?”
Jawab
mereka, ‘Demi Allah! Kami mencari makanan karena lapar.”
Kata
Rasulullah, ‘Demi Allah yang jiwaku di tangan Nya! Saya juga lapar. Nah!
Marilah ikut saya.”
Mereka
bertiga berjalan bersama-sama ke rumah Abu Ayyub Al-Anshary. Biasanya Abu Ayyub
selalu menyediakan makanan setiap hari untuk Rasulullah. Bila beliau terlambat
atau tidak datang, makanan itu dihabiskan oleh keluarga Abu Ayyub. Setelah
mereka tiba di pintu, Ibu Ayyub keluar menyongsonu mereka.
‘Selamat
datang, ya Nabiyallah dan kawan-kawan!” kata Ibu Ayyub.
“Kemana
Abu Ayyub?” tanya Rasulullah.
Ketika
itu Abu Ayyub sedang bekerja di kebun kurma dekat rumah. Mendengar suara Rasulullah,
dia bergegas menemui beliau.
“Selamat
datang, ya Nabiyallah dan kawan-kawan!” kata Abu Ayyub.
Abu
Ayyub langsung menyambung bicaranya, “Ya, Nabiyallah! Tidak biasanya Anda datang
pada waktu seperti sekarang.
Jawab
Rasulullah “Betul. hai Abu Ayyub!
Abu
Ayyub pergi ke kebun, lalu dipotongnya setandan kurma. Dalam setandan itu terdapat
kurma yang sudah kering, yang basah, dan yang setengah masak.
Kata
Rasulullah, “Saya tidak menghendaki engkau memotong kurma setandan begini. Alangkah
baiknya jika engkau petik saja yang sudah kering.”
Jawab
Abu Ayyub, “Ya, Rasulullah! Saya senang jika Anda suka mencicipi buah kering, yang
basah, dan yang setengah masak. Sementara itu saya sembelih kambing untuk Anda bertiga.”
Kata
Rasulullah, “Jika engkau menyembelih, jangan disembelih kambing yang sedang menyusui.”
“Abu
Ayyub menangkap seekor kambing, lalu disembelihnya. Dia berkata kepada Ibu Ayyub,
“Buat adonan roti. Engkau lebih pintar membuat roti.” Abu Ayyub membagi dua
sembelihannya. Separuh digulainya dan separuh lagi dipanggangnya Setelah masak,
maka dihidangkannya ke hadapan Rasulullah dan sahabat beliau. Rasulullah
mengambil sepotong gulai kambing, kemudian diletakkannya di atas sebuah roti
yang belum dipotong.
Kata
beliau, “Hai Abu Ayyub! Tolong antarkan ini kepada Fatimah. Sudah beberapa hari
ini dia tidak mendapat makanan seperti ini.”
Selesai
makan, Rasulullah berkata, “Roti, daging, kurma kering, kurma basah, dan kurma
setengah masak.”— Air mata beliau mengalir ke pipinya. Kemudian beliau bersabda
‘Demi Allah yang jiwaku di tangan-Nya! Sesungguha Ya beginilah ni’mat yang
kalian minta nanti di hari kiamat. Maka apabila kalian memperoleh yang seperti
in bacalah “Basmalah” lebih dahulu sebelum kalian makan. Bila sudah kenyang,
baca tahmid: “Segala puji bagi Allah yang telah mengenyang kan kami dan memberi
kami ni’mat.”
Kemudian
Rasulullah saw. bangkit hendak pulang. Beliau berkata kepada Abu Ayyub, ‘Datanglah
besok ke rumah kami!” Sudah menjadi kebiasaan bagi Rasulullah, apabila
Seseorang berbuat baik kepadanya, beliau segera membalas dengan yang lebih
baik. Tetapi Abu Ayyub tidak mendengar perkataan Rasulullah kepadanya. Lalu
dikata oleh ‘Umar, “Rasulullah menyuruh Anda datang besok ke rumahnya.” Kata
Abu Ayyub, “Ya, saya patuhi setiap perintah Rasulullah.”
Keesokan
harinya Abu Ayyub datang ke rumah Rasulullah. Beliau memberi Abu Ayyub seorang
gadis kecil untuk pembantu rumah tangga. Kata Rasulullah, ‘Perla kukanlah anak
ini dengan baik, hai Abu Ayyub! Selama dia di tangan kami, saya lihat anak ini
baik.”
Abu
Ayyub pulang ke rumahnya membawa seorang gadis kecil.
“Untuk
siapa ini, Pak Ayyub?” tanya Ibu Ayyub.
“Untuk
kita. Anak kita diberikan Rasulullah kepada kita,”jawab Abu Ayyub.
“Hargailah
pemberian Rasulullah. Perlakukan anak ini lebih daripada sekedar suatu pemberian’
“ kata Ibu Ayyub.
“Memang!
Rasulullah berpesan supaya kita bersikap baik terhadap anak ini,” kata Abu Ayyub.
“Bagaimana selayaknya sikap kita terhadap anak ini, supaya pesan beliau
terlaksana?” tanya Ibu Ayyub.
“Demi
Allah! Saya tidak melihat sikap yang lebih baik, melainkan memerdekakannya,” jawab
Abu Ayyub.
“Kakanda
benar-benar mendapat hidayah Allah. Jika kakanda setuju begitu, baiklah kita merdekakan
dia,” kata Ibu Ayyub menyetujui. Lalu gadis kecil itu mereka merdekakan.
ltulah
sebagian bentuk nyata celah-celah kehidupan Abu Ayyub setelah dia masuk Islam.
Kalau dipaparkan celah-celah kehidupannya dalam peperangan, kita akan
tercengang dibuatnya. Sepanjang hayatnya
Abu Ayyub hidup dalam peperangan. Sehingga dikatakan orang, “Abu Ayyub tidak
pernah absen dalam setiap peperangan yang dihadapi kaum muslimin sejak masa
Rasulullah sampai dia wafat di masa pemerintahan Mu ‘awiyah. Kecuali bila dia sedang
bertugas dengan suatu tugas penting yang lain.’’
Peperangan terakhir yang ikutinya, ialah
ketika Mu awiyah mengerahkan tentara muslimin merebut kota Konstantinopel. Abu
Ayyub seorang prajurit yang patuh dan setia. Ketika itu dia telah berusia lebih
delapan puluh tahun. Suatu usia yang boleh dikatakan usia akhir tua. Tetapi
usia tidak menghalanginya untuk bergabung dengan tentara muslimin dibawah bendera
Yazid bin Mu’awiyah. Dia tidak menolak mengarungi laut, membelah ombak untuk berperang
fi sabilillah. Tetapi belum berapa lama dia berada di medan tempur menghadapi
musuh, Abu Ayyub jatuh sakit. Abu Ayyub terpaksa istirahat di perkemahan, tidak
dapat melanjutkan peperangan karena fisiknya sudah lemah.
Ketika
Yazid mengunjungi Abu Ayyub yang sakit, panglima ini bertanya, “Adakah sesuatu
yang Anda kehendaki, hai Abu Ayyub?”
Jawab
Abu Ayyub, ‘Tolong sampaikan salam saya kepada seluruh tentara muslimin. Katakan
kepada mereka, Abu Ayyub berpesan supaya kalian semuanya terus maju sampai ke jantung
daerah musuh. Bawalah saya beserta kalian. Kalau saya mati, kuburkan saya dekat
pilar kota Konstantinopel!”
Tidak
lama sesudah ia berkata demikian, Abu Ayyub menghembuskan nafasnya yang terakhir.
Dia wafat menemui Tuhannya di tengah-tengah kancah pertempuran.
Tentara
muslimin memperkenankan keinginan sahabat Rasulullah yang mulia ini. Mereka
berperang dengan gigih, menghalau musuh dari satu medan ke medan tempur yang lain.
Sehingga akhirnya mereka berhasil mencapai pilar-pilar kota Konstantinopel,
sambil membawa jenazah Abu Ayyub.
Dekat
sebuah pilar kota Konstantinopel mereka menggali kuburuan, lalu mereka makamkan
jenazah Abu Ayyub di sana, sesuai dengan pesan Abu Ayyub.
Semoga
Allah melimpahkan rahmat-Nya kepada Abu Ayyub. Dia tidak ingin mati kecuali
dalam barisan termpur yang sedang berperang fi sabillah. Sedangkan usianya
telah mencapai delapan puluh tahun. Radhiyallahu ‘anhu. Amin!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
wilujeng ngawangkong