Nama Hasan Al-Banna sudah sangat tidak asing
bagi sebagian umat Islam. Sepak terjangnya, jejak perjuangannya, membuat
namanya cukup tersohor di dunia Islam.
Nama lengkapnya adalah Hasan Ahmad
Abdurrahman Al-Banna. Ia adalah seorang mujahid dakwah, peletak dasar-dasar
gerakan Islam sekaligus pendiri dan pimpinan tertinggi Ikhwanul Muslimin
(Persaudaraan Islam). Karena perannya itu, ia mendapat julukan sebagai pembaru
Islam Abad ke-20.
Hasan Al-Banna berusaha berjuang dan
menyiarkan dakwah Islam, sebagaimana tuntutan Alquran dan Sunah Rasulullah SAW.
Perhatiannya sangat besar terhadap upaya meluruskan pemahaman Islam dan
mengembalikan nilai-nilai ajaran Islam yang telah dibuang oleh umat Islam
sendiri.
Menurut Al-Banna, sebagian besar umat Islam
hanya menginginkan akidah tanpa syariah, agama tanpa negara, kebenaran tanpa
kekuatan, dan perdamaian tanpa perjuangan. Tetapi, Al-Banna menginginkan Islam
sebagai akidah dan syariah, agama dan negara, kebenaran dan kekuatan,
perdamaian dan perjuangan.
Suatu saat dia ditanya oleh seseorang dan si
penanya mengharapkan Hasan Al-Banna menjelaskan tabiat dirinya. Imam Hasan
Al-Banna berkata, ''Saya adalah seperti seorang pelancong (pengembara) yang
sedang mencari kebenaran, orang yang mencari jati diri yang sebenarnya, warga
negara yang mendambakan kemuliaan, kemerdekaan, ketenteraman, dan kehidupan
yang mudah di bawah naungan agama Islam yang lurus. Saya berusaha untuk
menerapkan Islam yang sebenarnya.''
''Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku,
dan matiku adalah untuk Tuhan alam semesta yang tidak ada sekutu bagi-Nya.
Inilah diri saya yang sebenarnya, sekarang siapa diri Anda yang sebenarnya?''
lanjutnya.
Hasan Al-Banna, dikenal sebagai seorang tokoh
yang paling gigih memberikan penjelasan kepada umat Islam tentang arti penting
keterlibatan umat Islam dalam politik. Menurutnya, politik adalah bagian dari
Islam, dan sesungguhnya kemerdekaan adalah salah satu kewajibannya.
Selain itu, Al-Banna juga memberikan
perhatian yang besar dalam pembentukan generasi muda Muslim yang istiqamah
terhadap diri sendiri, dan menjadikan Allah sebagai tujuannya, Islam jalannya,
dan Muhammad sebagai teladannya. Untuk itu, menurut Al-Banna, para generasi
muda Islam haruslah memahami Islam secara mendalam, memiliki iman yang kuat,
menjalin hubungan yang erat satu sama lain, mengamalkan ajaran itu dalam
dirinya sendiri, bekerja dan berjuang untuk mencapai kebangkitan Islam, serta
berusaha mewujudkan kehidupan yang Islami di masyarakatnya.
Guna mencapai tujuan tersebut, kata Al-Banna,
umat Islam tidak boleh terpecah belah. Sebab, perpecahan itu akan melemahkan
kekuatan Islam. Dalam pandangannya, umat Islam harus disatukan dalam satu
landasan Islam yang universal. Dan, Islam itu harus bersatu agar semakin kuat
dan jaya.
Keinginan Al-Banna yang besar ini sudah
muncul sejak ia masih muda. Dari sini pula, ia mendirikan perkumpulan atau
organisasi Ikhwanul Muslimin (Persaudaraan Islam), bersama enam orang temannya,
pada tahun 1938.
Tujuan dari pendirian organisasi tersebut
adalah untuk memberi pemahaman Islam yang benar. Menurutnya, Islam adalah
merupakan akidah, sarana untuk beribadah, tanah air, kewarganegaraan,
kelapangan, kekuatan, akhlak, alat untuk mencari materi, kebudayaan, dan
perundang-undangan. Beberapa tokoh yang tergabung di dalamnya, antara lain Sayyid Quthb dan Yusuf Al-Qaradhawi.
Dan, keberadaan organisasi Ikhwanul Muslimin
ini mampu memberikan semangat baru bagi generasi muda Islam untuk bangkit dan
bersama-sama memperjuangkan Islam, sesuai tuntunan Alquran dan Sunah Nabi SAW.
Menurut Almuzammil Yusuf, dalam bukunya
tentang Pemikiran Politik Ikhwanul Muslimin, kelahiran organisasi ini
disebabkan adanya fakta sejarah yang menunjukkan keimanan umat Islam sudah
mulai bercampur dengan sesuatu, yang tidak diajarkan dalam Alquran maupun hadis
Rasulullah SAW.
Selain itu, kemunculan organisasi ini
disebabkan adanya fenomena perang Salib, keragaman pendapat dan gagasan tokoh
Muslim, seperti Jamaluddin Al-Afghani
dan Muhammad Abduh. Di samping itu,
kemunculannya juga disebabkan adanya pengaruh sufi dan tarekat serta gerakan
ideologi politik.
Ahli
pidato
Hasan Al-Banna dilahirkan pada 14 Oktober
1906 di Desa Mahmudiyah kawasan Buhairah, Mesir. Ayahnya, Syekh As-Sa'ati,
adalah seorang ulama hadis dan pengarang buku dalam bidang hadis yang berjudul Al Fath Ar Robani fi Tartib Musnad Al
Imam Ahmad. Ia memperoleh pendidikan dasar di sekolah Ar-Rasyad Ad-Diniyah. Pada usia 12 tahun, Hasan al-Banna telah
menghafal Alquran.
Walaupun masih muda, di sekolahnya dia sudah
mendirikan sebuah organisasi yang diberi nama Jam'iyah Al-Akhlaq Al-Adabiyah dan organisasi Man'u Al-Muharramat. Dia juga selalu menulis surat yang dikirimkan
kepada orang-orang yang berpengaruh. Dalam surat yang tidak menyebutkan namanya
itu, berisi tentang nasihat-nasihat kepada mereka. Dia selalu mengunjungi
perpustakaan As-Salafiyah dan tempat-tempat berkumpulnya para ulama Al Azhar.
Sewaktu muda, Hasan Al-Banna sering
mengunjungi tempat-tempat hiburan, gedung-gedung pertemuan, dan klub-klub.
Dalam kunjungannya ke tempat-tempat tersebut, Hasan Al-Banna dan teman-temannya
selalu mengajak mereka agar kembali kepada Islam yang benar.
Selepas lulus SMA dengan memperoleh
predikat ranking 5 tingkat negara Mesir,
pada tahun 1923 Al-Banna melanjutkan pendidikan ke Fakultas Dar Al Ulum dan
lulus pada tahun 1927 dengan mendapatkan peringkat pertama. Setelah menamatkan
pendidikannya, ia kerap berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain untuk
berdakwah hingga kemudian ia memutuskan untuk menetap di Ismai'iliyah.
Tahun 1938, bersama enam orang temannya, ia
mendirikan organisasi Ikhwanul Muslimin. Di Isma'iliyah, ia mendirikan masjid,
kantor organisasi Ikhwanul Muslimin, dan sekolah Hara untuk mempelajari Islam.
Di samping itu, di sana dia juga mendirikan sekolah yang diberi nama Ummahatul Mukminin. Tujuan dari
pendirian sekolah tersebut adalah untuk mendidik putra-putri Islam dengan
pendidikan Islam yang benar. Ia kemudian pindah ke Kairo, di sana dia
mendirikan sebuah kantor pusat untuk organisasinya. Kantor yang didirikannya
itu ia beri nama Kantor Pusat Umum.
Hasan Al-Banna dikenal sebagai seorang yang
ahli dalam berpidato, lidahnya sangat fasih, ahli dalam sastra dan pandai
memilih kata-kata yang tepat. Pada tahun 1941, dia dipenjara selama sebulan
berkaitan dengan pidato yang ia sampaikan yang isinya mengkritik sistem politik
Inggris pada Perang Dunia ke II. Masih pada tahun yang sama, dia dipaksa pindah
ke Qana.
Di tempat barunya ini, Al-Banna terus
melanjutkan perjuangannya dengan menyampaikan dakwah dan mengajarkan Islam
kepada umat dari satu tempat ke tempat yang lain. Ia juga mengirimkan
delegasi-delegasi ke seluruh penjuru dunia untuk mengetahui keadaaan umat
Islam. Delegasi-delegasinya menginformasikan tentang realitas dunia Islam.
Pada tahun 1948, dia mengirimkan satu
batalion pasukan ke Palestina. Pasukan yang ia kirim ke Palestina terdiri atas
orang-orang Ikhwanul Muslimin. Dalam pertempuran melawan orang-orang Ikhwanul
Muslimin, pasukan Yahudi mendapatkan kekalahan yang telak. Salah satu
jenderalnya berkata, ''Seandainya mereka memberikan kepadaku satu batalion
orang-orang Ikhwanul Muslimin, maka dengan pasukan tersebut saya pasti bisa
menaklukkan dunia.''
Sosok
Kehidupan Asy-Syahid
Di kalangan para pendiri dan anggota Ikhwanul
Muslimin, Hasan Al-Banna dikenal sebagai sosok yang sangat rendah hati, sangat
menjaga kebersihan, daya ingatnya sangat kuat, selalu semangat dan tak kenal
lelah, sangat mencintai manusia dan berlaku lemah lembut kepada mereka, selalu
senyum, pemberani, dan juga tidak pernah meninggalkan shalat malam.
Sayyid Quthb, salah seorang rekannya di
Ikhwanul Muslimin, mengomentari Hasan Al-Banna, ''Sesuatu yang besar dalam diri
Hasan Al-Banna adalah dia selalu berpikiran positif, berbuat baik, dan
jenius.''
Syekh Muhammad Al-Hamid mengomentari Imam
As-Syahid, ''Sejak lama umat Islam tidak menjumpai orang seperti Hasan
Al-Banna.'' Syekh An-Nadawi juga berkomentar tentang diri Hasan Al-Banna, ''Dia
adalah sosok yang mengejutkan Mesir dan dunia Islam.''
Suatu saat terjadi kekacauan di Mesir dan
pemerintah tidak mampu mengatasinya. Pemerintah langsung menuduh Ikhwanul
Muslimin yang ada di balik kekacauan tersebut. Dengan alasan ini, pemerintah
Mesir menutup kantor-kantor Ikhwanul Muslimin dan banyak anggotanya yang
dipenjara serta organisasi mereka juga dibubarkan.
Sementara sang pendiri Ikhwanul Muslimin,
terbunuh sebagai syahid pada tahun 1948 di dekat perempatan Ramsis. Di suatu
malam, ada tiga orang yang menembakkan senjatanya ke arah Hasan Al-Banna dan
mereka langsung melarikan diri. Oleh banyak kalangan, para penembak misterius
ini diyakini sebagai penembak 'titipan' pemerintah. Dua dari mereka adalah
seorang intel dan satunya lagi adalah Muhammad Abdul Majid yang menjabat
sebagai kepala Keamanan Negara Mesir saat itu.
Hasan Al-Banna kemudian dilarikan ke rumah
sakit. Karena adanya ancaman yang keras dari pemerintah, orang-orang tidak ada
yang berani mendekati dan membalut lukanya. Akibatnya, dua jam setelah
penembakan terhadap dirinya, Hasan Al-Banna meninggal dunia tanpa ada yang
memberinya pertolongan. Dia hanya dishalati oleh bapak dan keempat saudara
perempuannya.
Sebelumnya, pemerintah memadamkan listrik
terlebih dahulu di desanya. Pemerintah bersedia menyerahkan jenazah kepada
keluarganya, dengan syarat mereka tidak akan mengumumkan berita duka. Jenazah
kemudian dibawa oleh ayah dan saudara-saudaranya. Proses pemakaman jenazah
dilakukan dalam suasana yang sangat mencekam dan dengan dikelilingi oleh
tank-tank. Kuburannya dijaga ekstra ketat oleh tentara agar para pengikut Hasan
Al-Banna tidak memindahkan jenazahnya.
Kepergian Hasan Al-Banna pun menjadi duka
berkepanjangan bagi umat Islam. Ia mewariskan sejumlah karya monumental, di
antaranya Mudzakkirat Ad-Du'at wa
Ad-Da'iyyah (Catatan Harian Dakwah dan Da'i) serta Ar-Rasail
(Kumpulan Surat-surat). Selain itu, Hasan Al-Banna mewariskan semangat dan
teladan dakwah bagi seluruh aktivis dakwah saat ini. berbagai sumber/dia
Wirid Al-Ma'tsurat
Al-Ma'tsurat adalah salah satu karya yang
pernah disusun oleh Hasan Al-Banna. Risalah kecil berupa wirid, doa, yang
diambil dari sejumlah surah dalam Alquran ini, sangat populer di kalangan kaum
Muslimin di seluruh dunia, tidak terkecuali di Indonesia. Bahkan, wirid-wirid
yang terkandung di dalamnya dijadikan sebagai amalan harian wajib bagi para
pengikut kelompok Ikhwanul Muslimin dan kebanyakan para aktivis pergerakan
Islam di Indonesia.
Bacaan
doa dan wirid yang terdapat dalam kitab
Al-Ma'tsurat ini merupakan bagian dari amalan-amalan tarekat Shufiyyah
Hashshofiyyah,
di mana Hasan Al-Banna telah menjadi salah satu pengikutnya sejak usia muda.
Semasa hidupnya, ia selalu mengamalkan ritual-ritual tarekat Hashshofiyyah
tersebut, seperti Wazhifah (wirid) Rozuqiyyah setiap pagi dan petang. Tak hanya mengamalkan Wazhifah Rozuqiyyah,
bahkan dia juga mengikuti ritual Hashshofiyyah di kuburan-kuburan dengan cara
menghadap kepada sebuah kuburan, yang terbuka dengan tujuan untuk mengingat
kematian, kemudian ritual Hadhroh setelah shalat Jumat, dan ritual Maulid Nabi.
Namun, menurut Ustaz Abu Ahmad sebagaimana
dikutip dari Majalah Al-Furqon Edisi 06 Tahun VI edisi Februari 2007, beberapa di antara doa-doa dan zikir-zikir
dalam Al-Ma'tsurat ini ada yang lemah dalilnya atau bahkan tidak ada asalnya
sama sekali. Di samping itu, di dalam risalah Al-Ma'tsurat ini banyak
wirid-wirid lain yang sahih lafaznya, tetapi bidah dari segi kaifiyyat-nya
(tata cara), karena memberikan bilangan bacaan-bacaannya yang tidak pernah ada
tuntunannya dari Rasulullah SAW.
Pada akhir Al-Ma'tsurat ini tercantum Doa
Rabithah yang berbunyi: ''Allahumma
innaka ta'lamu anna hadzihi al-quluuba qadijtama'at 'alaa mahabbatika waltaqat
'alaa thaa'atika watawahhadat 'alaa da'watika wa ta'aahadat 'alaa nushrati
syarii'atika fawassiq allahumma raabithhaa wa adim wuddahaa.'' (Ya Allah,
sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui bahwa hati-hati ini telah berkumpul untuk
mencurahkan kecintaan hanya kepada-Mu, bertemu untuk taat kepada-Mu, bersatu
dalam rangka menyeru di jalan-Mu, dan berjanji setia untuk membela syari'at-Mu
maka kuatkanlah ikatan pertaliannya Ya Allah, abadikan kasih sayangnya.''
Mengenai Doa Rabithah ini, Syekh Ihsan bin
Ayisy Al-Utaibi berkata: ''Di akhir
Al-Ma'tsurat terdapat wirid rabithah ini adalah bidah shufiyyah, yang diambil
oleh Hasan Al-Banna dari tarekatnya, Hashshofiyyah.'' (Kitab TarbiyatuI Aulad fil Islam li Abdullah Ulwan
fi Mizani Naqd Ilmi, hal 126)
Karena
itu, di antara para ulama ada yang berpendapat bahwa kitab ini tidak layak
dijadikan pegangan di dalam wirid-wirid keseharian seorang Muslim, mengingat
banyaknya hal-hal yang bidah yang terdapat dalam Al-Ma'tsurat ini. Para ulama
ini menganjurkan agar kaum Muslimin memilih kitab-kitab zikir lainnya, yang
mengacu kepada doa dan zikir yang shahih dari Nabi SAW. dia/taq/berbagai
sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
wilujeng ngawangkong