Kamis, 13 Juni 2013

Muhammad Yamin "Perumus Ikrar Sumpah Pemuda"




Pekerjaan Utama: Sastrawan, pejuang, politikus
Dari sekian banyak bentuk perjuangannya, yang paling melekat dengan sosok Pahlawan Nasional ini adalah perannya sebagai perumus ikrar Sumpah Pemuda yang lahir dari Kongres Pemuda II, 28 Oktober 1928. Ia juga aktif sebagai sastrawan dan politisi serta pernah memangku sejumlah jabatan penting dalam pemerintahan, antara lain Menteri Kehakiman (1951), Menteri Pengajaran, Pendidikan dan Kebudayaan (1953-1955), Ketua Dewan Perancang Nasional (1962), dan Ketua Dewan Pengawas IKBN Antara (1961-1962).
Muhammad Yamin dilahirkan di Sawahlunto, Sumatera Barat, pada 23 Agustus 1903. Yamin merupakan putra pasangan Usman yang bergelar Bagindo Khatib dengan perempuan asal Padang Panjang bernama Siti Sa'adah. Yamin yang berdarah Minang kemudian menikah dengan seorang wanita Jawa bernama Raden Ajeng Sundari Merto Amodjo pada 1934. Dari hasil pernikahan beda suku tersebut, pasangan ini dikaruniai seorang putra bernama Dang Rahadian Sinajangsih Yamin.
Meski lahir di zaman kolonial, Yamin termasuk salah satu dari segelintir orang yang beruntung karena mendapat kesempatan untuk mengenyam pendidikan hingga tingkat tinggi. Boleh jadi ini disebabkan oleh kedudukan sang ayah sebagai mantri kopi, jabatan yang pada masa penjajahan Belanda tergolong cukup terpandang.
Yamin menempuh pendidikan dasarnya di Hollands Inlands School (HIS) di Palembang, kemudian ia tercatat sebagai peserta kursus pada Lembaga Pendidikan Peternakan dan Pertanian di Cisarua, Bogor, selama lima tahun. Setelah itu dilanjutkan ke sekolah Belanda setingkat SMA yang dulu dikenal dengan sebutan Algemene Middelbare School (AMS) di Yogyakarta. Di sekolah tersebut, ia mempelajari bahasa Yunani, bahasa Latin, bahasa Kaei, dan sejarah purbakala.
Yamin yang tergolong siswa cerdas berhasil menguasai empat mata pelajaran tersebut hanya dalam tempo tiga tahun saja. Dalam mempelajari bahasa Yunani, Yamin banyak menimba ilmu dari pastor-pastor di Seminari Yogya, sedangkan untuk bahasa Latin, ia banyak dibantu Prof. H. Kraemer dan Ds. Backer. Studi di AMS merupakan persiapan Yamin untuk mempelajari kesusastraan Timur di Leiden, Belanda.
Setelah tamat AMS, Yamin pun bersiap-siap berangkat ke Leiden. Akan tetapi, sebelum sempat berangkat, sebuah telegram dari Sawahlunto mengabarkan bahwa ayahnya meninggal dunia. Karena itu, kandaslah cita-cita Yamin untuk belajar di Eropa sebab uang peninggalan ayahnya hanya cukup untuk belajar lima tahun di sana. Padahal, belajar kesusastraan Timur membutuhkan waktu tujuh tahun.
Setelah gagal sekolah ke luar negeri, Yamin melanjutkan studi ke Recht Hogeschool (RHS) di Jakarta dan berhasil mendapatkan gelar Meester in de Rechten (Sarjana Hukum) pada tahun 1932. Dengan gelar tersebut, Yamin menjalani profesinya sebagai seorang advokat di Jakarta hingga tahun 1942.
Pelopor Soneta
Pendidikan dasar hingga tingkat tinggi yang dilaluinya di sekolah Belanda, membuat Yamin banyak menyerap kesusastraan asing. Akan tetapi sebagai seorang intelektual, ia tidak begitu saja menelan segala hal yang didapatnya, melainkan memadukan konsep sastra Barat dengan gagasan budaya Indonesia yang nasionalis.
Mungkin hal tersebut dipengaruhi oleh lingkungan keluarganya, mengingat kedua orangtua Yamin adalah keturunan kepala adat di Minangkabau. Oleh karena itu, tak heran bila sejak kecil hingga beranjak remaja, Yamin dibekali pendidikan adat dan agama. Sehingga ia tidak hanyut begitu saja oleh hal-hal yang pernah diterimanya, baik itu berupa karya-karya sastra maupun sistem pendidikan Barat yang dipelajarinya. Prinsip itulah yang terus dipertahankannya termasuk saat menjalani perannya sebagai seorang sastrawan.
Yamin juga dikenal sebagai penyair yang pertama kali menggunakan bentuk soneta di tahun 1921 sekaligus pelopor Angkatan Pujangga Baru yang secara resmi berdiri tahun 1933. Kerinduan terhadap tanah kelahirannya sewaktu ia merantau ke Jawa, kecintaannya pada tanah kelahirannya dan masa lampau, menjadikan karyanya berciri romantis dan sentimentil, penuh kata-kata indah yang sebagian diantaranya diambil dari bahasa daerahnya, Minangkabau.
Di dunia sastra, nasionalisme seorang Muhammad Yamin dibuktikan dengan menghindari pemakaian kata-kata Barat-Belanda. Sikapnya ini telah dipegang sejak ia memimpin majalah Jong Sumatra. Meski pada kenyataaannya, dalam majalah itu terdapat dua kubu yang berbeda pendapat soal bahasa pengantar yang akan digunakan. Di satu sisi, kubu pimpinan Dr. M. Amir menghendaki Bahasa Belanda. Sementara kubu Yamin ingin memakai bahasa Melayu. Jejak Yamin menggunakan bahasa Melayu kemudian diikuti oleh Sanusi Pane dan M. Hatta yang menulis soneta bertajuk Beranta Indera dalam majalah Jong Sumatra edisi November 1921.
Ayah satu anak ini pertama kali muncul sebagai penyair di tahun 1922 dengan puisi berjudul Tanah Air, terdiri dari 30 bait dan tiap bait terdiri 9 baris. Yang dimaksud "Tanah Air" di sini ialah Sumatera. "Tanah Air" yang kini tersimpan di Pusat Dokumentasi HB Jassin ini merupakan kumpulan puisi modern Melayu pertama yang pernah diterbitkan.
Sebagai penyair, gaya puisi Yamin masih terikat pada pola pantun dan syair yang masih menekankan persamaan bunyi, sehingga kadang memasang kata-kata yang tidak perlu hanya sekadar memenuhi syarat bilangan kata dan sajak akhir saja. Namun demikian, Yamin dengan ciri khasnya tersebut berhasil memperbaharui puisi lama. Pembaharuannya terletak pada variasi sajak akhir dan jumlah baris.
Yamin juga dikenal sebagai penyair yang pertama kali menggunakan bentuk soneta di tahun 1921 sekaligus pelopor Angkatan Pujangga Baru yang secara resmi berdiri tahun 1933. Kerinduan terhadap tanah kelahirannya sewaktu ia merantau ke Jawa, kecintaannya pada tanah kelahirannya dan masa lampau, menjadikan karyanya berciri romantis dan sentimentil, penuh kata-kata indah yang sebagian diantaranya diambil dari bahasa daerahnya, Minangkabau.
Kumpulan puisi karya Yamin berikutnya berjudul Tumpah Darahku yang terdiri dari 88 bait dan tiap bait terdiri dari 7 baris. Puisi tersebut ditampilkan pada 28 Oktober 1928, bertepatan dengan peristiwa bersejarah yakni Kongres Sumpah Pemuda. Karya ini menjadi amat penting karena pada momen itu, Yamin dan beberapa orang pejuang memutuskan untuk bertanah air, berbangsa, dan berbahasa satu, Indonesia.
Dalam Tumpah Darahku, Yamin tak lagi menyanyikan Pulau Perca atau Sumatera saja, melainkan menyanyikan kebesaran dan keagungan sejarah berbagai kerajaan dan suku bangsa di Nusantara seperti kerajaan Majapahit, Sriwijaya, dan Pasai. Semua itu terlukis dalam sajak-sajaknya. Dalam salah satu baitnya, Yamin mengatakan: "….. kita sedarah sebangsa/Bertanah air di Indonesia". Di tahun yang sama, Yamin meluncurkan sebuah drama yang berdasarkan sejarah Jawa dengan judul Ken Arok dan Ken Dedes.
Yamin juga menaruh minat pada sejarah, terutama sejarah nasional. Karena baginya sejarah adalah salah satu cara mewujudkan cita-cita Indonesia Raya. Dua karya Yamin yang mengangkat tema sejarah adalah Gadjah Mada (1946) dan Pangeran Diponegoro (1950). Selain puisi, drama, dan novel sejarah, Yamin juga banyak menerbitkan esai, serta menerjemahkan karya-karya pujangga dunia seperti drama Julius Caesar karya William Shakespeare, serta dua karya milik sastrawan India Rabindranath Tagore yang masing-masing berjudul Menantikan Surat dari Raja dan Di Dalam dan di Luar Lingkungan Rumah Tangga.
Kiprah Sebagai Politikus
Semangat nasionalisme Muhammad Yamin sudah mulai berkobar sejak duduk di bangku kuliah dengan aktif berjuang melawan penjajah lewat sejumlah organisasi yang akhirnya membawanya ke panggung politik. Tahun 1926-1928, Yamin ditunjuk menjadi ketua Jong Sumatera Bond. Ketertarikannya terhadap pergerakan kepemudaan berawal saat salah seorang anggota Jong Soematraen Bond bernama Nazir Dt. Pamuntjak datang ke Padang.
Nazir yang ketika itu hendak berangkat ke Belanda untuk bersekolah, pelayarannya terhambat karena Perang Dunia I (1914-1918). Ia kemudian menunda keberangkatannya dan pulang ke Padang. Saat itulah Nazir memberikan penjelasan tentang rencana pendirian cabang Jong Soematraen Bond di Padang dan Bukittinggi. Dibantu Mohammad Taher Marah Sutan, Nazir menyelenggarakan rapat dengan para pemuda pelajar di gedung Syarikat Usaha di Padang. Dalam rapat tersebut, Nazir berpidato menggunakan bahasa Belanda. Sebab, saat itu bahasa Indonesia belum lazim dipergunakan.
Dalam pidatonya, ia memberikan semangat kepada para pemuda pelajar Sumatera untuk segera bangkit. Kebangkitan tersebut ditandai dengan mendirikan perkumpulan atau organisasi kepemudaan. Pidato Nazir saat itu berhasil menggugah semangat berjuang para pemuda yang ditandai dengan berdirinya cabang Jong Soematraen Bond di Padang dan Bukittinggi.
Di perkumpulan pemuda se-Sumatera itulah, Yamin mulai meniti karirnya di bidang organisasi bersama dengan Mohammad Hatta yang kelak menjadi wakil presiden RI yang pertama. Jong Soematraen Bond kemudian berubah nama menjadi Pemuda Sumatera.
Dari sekian banyak bentuk perjuangannya, yang paling melekat dengan sosok Muhammad Yamin adalah perannya sebagai perumus ikrar Sumpah Pemuda yang lahir dari Kongres Pemuda II pada 28 Oktober 1928. Kongres tersebut dihelat setelah pemuda-pemudi dari berbagai daerah berkumpul dan menyatakan keinginannya untuk bersatu. Selain itu, semangat persatuan bangsa juga digaungkan Perhimpunan Indonesia di Belanda. Yamin berpandangan bahwa masa depan Indonesia akan direkatkan oleh satu bahasa, yakni bahasa Indonesia.
Kemudian dalam pidatonya, Yamin menyampaikan pesan untuk generasi muda, yakni ada hak bagi para pemuda Indonesia untuk mendekatkan diri dengan tanah airnya, dengan bangsanya yang telah melahirkannya. Pemuda merupakan tempat yang sebaik-baiknya untuk menanam segala cita-cita dan tujuan, di dalam dada pemuda tersimpan kemauan zaman baru, zaman yang akan datang; dan kemauan pemuda adalah banjir yang tak boleh dihambat. Yamin sangat yakin akan cita-citanya untuk mewujudkan Indonesia Raya bukanlah suatu hal yang mustahil, melainkan suatu bangunan dengan tiang yang kokoh.
Terinspirasi oleh Sumpah Palapa Gajah Mada, Muhammad Yamin membuat konsep ikrar Sumpah Pemuda untuk dibacakan sebagai hasil Kongres Pemuda II. Konsep tersebut kemudian disetujui oleh Soegondo sebagai ketua dan Amir Syarifuddin sebagai bendahara. Kemudian, konsep tersebut dibacakan di depan kongres dan disetujui oleh seluruh peserta. Rumusan hasil Kongres Pemuda II 1928 yang dibuat Muhammad Yamin tersebut sekarang dikenal dengan ikrar Sumpah Pemuda yang sangat menjiwai semangat pemuda Indonesia selanjutnya.
Di kemudian hari, 28 Oktober diperingati sebagai Hari Sumpah Pemuda. Peringatan tersebut selalu dimeriahkan pula dengan kegiatan Bulan Bahasa dan sastra Indonesia sebagai bentuk kebanggaan dan kecintaan rakyat terhadap bahasa Indonesia. Sebab, dalam kongres itulah, bahasa Indonesia mulai diakui secara de facto sebagai bahasa persatuan.
Setelah turut terlibat menyatukan para pemuda lewat Kongres Pemuda II, Yamin melebarkan perjuangannya ke ranah politik. Pada tahun 1931, ia tercatat sebagai anggota Partai Indonesia, meski belakangan partai tersebut dibubarkan. Setelah itu bersama Adam Malik, Wilopo, dan Amir Syarifuddin, Yamin mendirikan Partai Gerakan Rakyat Indonesia. Yamin secara resmi masuk ke dalam pemerintahan setelah diangkat sebagai anggota Volksraad (Dewan Perwakilan Rakyat) hingga tahun 1942.
Semasa pendudukan Jepang antara tahun 1942 dan 1945, Yamin bertugas di Pusat Tenaga Rakyat (PUTERA), sebuah organisasi nasionalis yang disokong oleh pemerintah Jepang. Pada tahun 1945, Yamin mendirikan Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK), dibantu Ir. Soekarno. Yamin, bersama anggota panitia 9 BPUPKI kemudian berhasil merumuskan Piagam Jakarta dan menjadi dasar terbentuknya UUD 1945 serta Pancasila.
Figur yang amat mencintai persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia ini juga pernah ditunjuk sebagai anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Setelah proklamasi kemerdekaan, ia memangku sejumlah jabatan penting dalam pemerintahan, antara lain sebagai Menteri Kehakiman (1951), Menteri Pengajaran, Pendidikan dan Kebudayaan (1953-1955), Ketua Dewan Perancang Nasional (1962), dan Ketua Dewan Pengawas IKBN Antara (1961-1962).
Jabatan terakhirnya sebagai pembantu presiden adalah Menteri Penerangan. Saat masih mengemban tugas dan tanggung jawab sebagai menteri itulah, sastrawan dan negarawan yang banyak berjasa pada negara ini tutup usia di Jakarta, pada 17 Oktober 1962, di usia 59 tahun. Jasadnya kemudian dikebumikan di Talawi, sebuah kota kecamatan yang terletak 20 kilometer dari ibu kota Kabupaten Sawahlunto, Sumatera Barat. Atas dedikasi dan kontribusinya, pemerintah RI menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Muhammad Yamin berdasarkan SK Presiden RI No.088/TK/1973. eti | muli, red
ENSIKLOPEDI TOKOH INDONESIA

Muhammad Yamin


Nama: Muhammad Yamin
Gelar: Pahlawan Nasional berdasarkan SK Presiden RI No.088/TK/1973
Lahir: Sawahlunto, Sumatera Barat, 23 Agustus 1903
Meninggal: Jakarta, 17 Oktober 1962
Makam: Talawi, Sawahlunto Sumatera Barat
Pekerjaan: Sastrawan, pejuang, politikus
Agama: Islam
Orangtua: Usman (bergelar Bagindo Khatib) & Siti Sa’adah
Istri: Raden Ajeng Sundari Mertoatmadjo
Anak: Dang Rahadian Sinajangsih Yamin
Perjuangan:
  • Perumus ikrar Sumpah Pemuda yang lahir dari Kongres Pemuda II, 28 Oktober 1928.
  • Mendirikan Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK), dibantu Ir. Soekarno. Yamin, bersama anggota panitia 9 BPUPKI yang kemudian berhasil merumuskan piagam Jakarta dan menjadi dasar terbentuknya UUD 1945 serta Pancasila.
Pendidikan:
  • Recht Hogeschool (RHS) di Jakarta dan berhasil mendapatkan gelar Meester in de Rechten ‘Sarjana Hukum’, 1932
  • Hollands Inlands School (HIS), Jakarta
  • Algemene Middelbare School (AMS), Yogyakarta
  • Lembaga Pendidikan Peternakan dan Pertanian di Cisarua, Bogor
  • HIS, Palembang
Organisasi:
  • AnggotaVolksraad (Dewan Perwakilan Rakyat)
  • Partindo, 1932-1938
  • Yong Sumatramen Bond (Organisasi Pemuda Sumatera), 1926-1928
Jabatan dalam pemerintahan:
  • Ketua Dewan Perancang Nasional, 1962
  • Ketua Dewan Pengawas IKBN Antara, 1961-1962
  • Menteri Pengajaran, Pendidikan dan Kebudayaan, 1953-1955
  • Menteri Kehakiman, 1951
  • Anggota Majelis Pertimbangan Putera
  • Mendirikan Partai Gerakan Rakyat Indonesia bersama Adam Malik, Wilopo, dan Amir Syarifuddin
  • Anggota BPUPKI
  • Anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP)
Karya:
  • Puisi:
    • Indonesia, Tumpah Darahku, Jakarta: Balai Pustaka (kumpulan), 1928
  • Drama:
    • Kalau Dewa Tara Sudah Berkata. Jakarta: Balai Pustaka, 1932
    • Ken Arok dan Ken Dedes, Jakarta: Balai Pustaka, 1934
    • Indonesia Tumpah Darahku, 1928
    • Tanah Air, 1922
  • Terjemahan:
    • Julius Caesar karya Shakspeare, 1952
    • Tan Malaka. Jakarta: Balai Pustaka, 1945
    • Menantikan Surat dari Raja karya R. Tangore, 1928
    • Di Dalam dan di Luar Lingkungan Rumah Tangga karya R. Tigore, t.th
  • Sejarah:
    • Tata Negara Madjapahit, 1962
    • Pertulisan Seriwidjaja Dikota Kanton (RRT) Dari Permulaan Abad XI, 1962
    • Pertulisan Widjaja-Parakrama-Wardana dari Surodakan (Kediri) dengan Bertarich Sjaka 1368-T.M. 1447, 1962
    • Pembangunan Semesta, 1961
    • Sapta Darma, 1956
    • Kebudajaan Asia-Afrika: Buku I: Bagian Naskah, 1955
    • Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia, 1951
    • Revolusi Amerika, 1951
    • 6000 tahun Sang Merah-Putih, 1951
    • Sejarah Pangerah Dipenogoro, Jakarta: 1945
    • Gadjah Mada, Jakarta: 1945
Pusat Data Tokoh Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

wilujeng ngawangkong