Kamis, 15 Maret 2012

Hujjatul Islam: Jamaluddin Al-Afghani, Simbol Perlawanan Imperialisme Barat

REPUBLIKA.CO.ID, Nama lengkapnya adalah Jamaluddin Al-Afghani As-Sayid Muhammad bin Shafdar Al-Husain. Namun, ia lebih dikenal dengan Jamaluddin Al-Afghani.

Ia merupakan seorang pemikir Islam, aktivis politik, dan jurnalis terkenal. Kebencian Al-Afghani terhadap kolonialisme menjadikannya perumus dan agitator paham serta gerakan nasionalisme dan pan-Islamisme yang gigih, baik melalui pidatonya maupun tulisan-tulisannya.

Di tengah kemunduran kaum Muslimin dan gejolak kolonialisme bangsa Eropa di negeri-negeri Islam, Al-Afghani menjadi seorang tokoh yang amat memengaruhi perkembangan pemikiran dan aksi-aksi sosial pada abad ke-19 dan ke-20.

Dilahirkan di Desa Asadabad, Distrik Konar, Afghanistan pada tahun 1838, Al-Afghani masih memiliki ikatan darah dengan cucu Rasulullah SAW, Hussein bin Ali bin Abi Thalib.

Ayahnya, Sayyid Safdar al-Husainiyyah, yang nasabnya bertemu dengan Sayyid Ali Al-Tirmidzi (seorang perawi hadits yang masyhur yang telah lama bermigrasi ke Kabul) juga senasab hingga Sayyidina Hussein bin Ali bin Abi Thalib. Keluarganya merupakan penganut mazhab Hanafi. Masa kecil dan remajanya, ia habiskan di Afghanistan. Namun ketika beranjak dewasa, ia berpindah dari satu negara ke negara lainnya, seperti India, Mesir, dan Prancis.

Pendidikan dasar ia peroleh di tanah kelahirannya. Pada usia 8 tahun, Al-Afghani telah memperlihatkan kecerdasan yang luar biasa. Lalu ia melanjutkan pendidikannya di Kabul dan Iran. Ia tidak hanya mempelajari ilmu agama, tetapi juga ilmu umum. Ia tekun mempelajari bahasa Arab, sejarah, matematika, filsafat, fikih dan ilmu keislaman lainnya. Ketika berada di Kabul, sampai umur 18 tahun, ia mempelajari beberapa cabang ilmu keislaman disamping filsafat dan ilmu eksakta.

Kemudian ketika berada di India dan tinggal di sana lebih dari satu tahun, ia menerima pendidikan yang lebih modern. Di India, Al-Afghani memulai misinya membangkitkan Islam. Kala itu India berada di bawah kekuasaan penjajahan Inggris. Pada saat perlawanan terjadi di seluruh India, Al-Afghani turut ambil bagian dengan bergabung dalam perang kemerdekaan India di tahun 1857. Meski demikian, ia masih sempat pergi ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji.

Sepulang dari haji, Al-Afghani memutuskan untuk pergi ke Kabul. Di kota ini ia disambut oleh penguasa Afghanistan, Dost Muhammad Khan, yang kemudian menganugerahinya posisi penting dalam pemerintahannya. Ketika Sher Ali Khan menggantikan Dost Muhammad Khan pada 1864, Al-Afghani diangkat menjadi penasihatnya. Dan beberapa tahun kemudian diangkat menjadi perdana menteri oleh Muhammad A'zam Khan.

Karena campur tangan Inggris dalam soal politik di Afghanistan dan kekalahannya dalam pergolakan melawan golongan yang disokong Inggris, Aghani meninggalkan Afghanistan pada 1869 menuju India. Karena koloni Inggris yang berada di India selalu mengawasi kegiatannya, ia pun meninggalkan India dan pergi ke Mesir pada 1871, dan menetap di Kairo.

REPUBLIKA.CO.ID, Awalnya, Jamaluddin Al-Afghani menjauhi persoalan-persoalan politik Mesir dan memusatkan perhatiannya pada bidang ilmu pengetahuan dan sastra Arab.

Rumahnya dijadikan tempat pertemuan murid-murid dan para pengikutnya. Di sinilah ia memberikan kuliah dan mengadakan diskusi. Salah seorang murid Al-Afghani adalah Muhammad Abduh.

Ia kembali ke lapangan politik pada 1876 ketika melihat adanya campur tangan Inggris dalam soal politik di Mesir. Kondisi tersebut mendorong Al-Afghani untuk terjun ke dalam kegiatan politik di Mesir. Ia bergabung dengan perkumpulan yang terdiri atas orang-orang politik di Mesir.

Lalu pada tahun 1879, Al-Afghani membentuk partai politik dengan nama Hizb Al-Watani (Partai Kebangsaan). Dengan partai ini ia berusaha menanamkan kesadaran nasionalisme dalam diri orang-orang Mesir. Partai yang ia dirikan ini bertujuan untuk memperjuangkan pendidikan universal, kemerdekaan pers, dan memasukkan unsur-unsur Mesir ke dalam posisi-posisi militer.

Kegiatan yang dilakkukan Al-Afghani selama berada di Mesir memberi pengaruh yang besar bagi umat Islam di sana. Ia yang membangkitkan gerakan berpikir di Mesir sehingga negara itu dapat mencapai kemajuan dan menjadi negara modern. Akan tetapi, karena keterlibatannya dalam bidang politik itu, pada tahun 1882 ia diusir dari Mesir oleh penguasa saat itu. Dia kemudian pergi ke Paris.

Pada tahun 1883, ketika berada di Paris, Al-Afghani mendirikan suatu perkumpulan yang diberi nama Al-'Urwah Al-Wusqa (Ikatan yang Kuat), yang anggotanya terdiri atas orang-orang Islam dari India, Mesir, Suriah, Afrika Utara, dan lain-lain. Tujuan didirikannya perkumpulan tersebut antara lain memperkuat rasa persaudaraan Islam, membela Islam, dan membawa umat Islam kepada kemajuan.

Jurnal perlawananSebagai sarana untuk menyalurkan ide-ide dan kegiatannya, Al-Afghani bersama Muhammad Abduh menerbitkan jurnal berkala, yang juga bernama Al-'Urwah Al-Wusqa. Publikasi ini bukan saja menggoncang dunia Islam, tapi juga menimbulkan kegelisahan dunia Barat. Majalah ini hanya berumur delapan bulan karena Barat melarang peredarannya di negeri-negeri Islam.
Majalah ini dinilai dapat menimbulkan semangat dan persatuan orang-orang Islam. Di mana-mana, terutama untuk pasaran dunia Timur, majalah ini dibinasakan penguasa Inggris. Di Mesir dan India, majalah ini dilarang untuk diedarkan. Akan tetapi, majalah ini terus saja beredar meski secara ilegal.

REPUBLIKA.CO.ID, Jurnal berkala ini segera menjadi barometer perlawanan imperialis Dunia Islam yang merekam komentar, opini, dan analisis.Tak hanya dari tokoh-tokoh Islam dunia, tetapi juga ilmuwan-ilmuwan Barat yang penasaran dan kagum dengan kecemerlangan Al-Afghani.

Selama mengurus jurnal ini, Afghani harus bolak-balik Paris-London untuk menjembatani diskusi dan pengiriman tulisan para ilmuwan Barat, terutama yang bermarkas di International Lord Salisbury, London.

Atas undangan penguasa Persia saat itu, Syah Nasiruddin, pada tahun 1889 ia mengunjungi Persia. Di sana ia diminta untuk menolong mencari penyelesaian persengketaan Rusia-Persia yang timbul karena politik pro-Inggris.

Pada tahun 1892, ia ke Istanbul atas undangan Sultan Abdul Hamid yang ingin memanfaatkan pengaruh Al-Afghani di berbagai negara Islam untuk menentang Eropa yang pada waktu itu mendesak kedudukan Kerajaan Utsmani (Ottoman) di Timur Tengah.

Akan tetapi kedua tokoh tersebut tidak mencapai kerjasama. Sultan Abdul Hamid tetap mempertahankan kekuasaan otokrasi lama, sedangkan Al-Afghani mempunyai pemikiran demokrasi tentang pemerintahan. Akhirnya, Sultan membatasi kegiatan al-Afghani dan tidak mengizinkannya keluar dari Istanbul sampai wafatnya pada tanggak 9 Maret 1897. Ia dikubur di sana. Jasadnya kemudian dipindahkan ke Afghanistan pada tahun 1944.

Ustad Abu Rayyah dalam bukunya, "Al-Afghani: Sejarah, Risalah dan Prinsip-prinsipnya”, menyatakan Al-Afghani meninggal akibat diracun. Ada juga pendapat yang menyatakan bahwa ada rencana Sultan untuk membinasakannya.

Di samping majalah Al-‘Urwah al-Wusqa yang diterbitkannya, Al-Afghani juga menulis banyak buku dan artikel. Di antaranya ialah Bab ma Ya’ulu Ilaihi Amr al-Muslimin (Pembahasan tentang Sesuatu Yang Melemahkan Orang-Orang Islam), Makidah asy-Syarqiyah (Tipu Muslihat Orientalis), Risalah fi ar-Radd ‘Ala al-Masihiyyin (Risalah untuk Menjawab Golongan Kristen; 1895), Diya’ al-Khafiqain (Hilangnya Timur dan Barat; 1892), Haqiqah al-Insan wa Haqiqah al-Watan (Hakikat Manusia dan Hakikat Tanah Air; 1878), dan Ar-Radd ‘Ala al-Dahriyin

REPUBLIKA.CO.ID, Apa yang dilihat Al-Afghani di dunia Barat dan apa yang dilihatnya di dunia Islam memberi kesan kepadanya bahwa umat Islam pada masanya sedang berada dalam kemunduran, sementara dunia Barat dalam kemajuan.

Hal ini mendorong Al-Afghani untuk memunculkan pemikiran-pemikiran baru agar umat Islam mencapai kemajuan. Pemikiran pembaruan yang ia cetuskan mempunyai pengaruh besar dalam dunia Islam.

Pembaruan pemikiran Al-Afghani didasarkan pada keyakinan bahwa agama Islam sesuai untuk semua bangsa, zaman, dan keadaan. Tidak ada pertentangan antara ajaran Islam dan kondisi yang disebabkan perubahan zaman.

Dalam pandangan Afghani, jika ada pertentangan antara ajaran Islam dan kondisi zaman saat ini, maka harus dilakukan penyesuaian dengan mengadakan interpretasi baru terhadap ajaran-ajaran Islam yang tercantum dalam Alquran dan hadits. Untuk mencapai hal ini dilakukan ijtihad, dan pintu ijtihad menurutnya masih tetap terbuka.

Ia melihat bahwa kemunduran umat Islam bukanlah karena Islam tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman dan perubahan kondisi. Kemunduran mereka disebabkan oleh beberapa faktor.

Umat Islam, menurutnya, telah dipengaruhi oleh sifat statis, berpegang pada taklid, bersikap fatalis, telah meninggalkan akhlak yang tinggi, dan telah melupakan ilmu pengetahuan. Ini berarti bahwa umat Islam telah meninggalkan ajaran Islam yang sebenarnya menghendaki agar umat Islam bersifat dinamis, tidak bersifat fatalis, berpegang teguh pada akhlak yang tinggi, dan mencintai ilmu pengetahuan.

Sifat statis, kata Afghani, telah membawa umat Islam menjadi tidak berkembang, dan hanya mengikuti apa yang telah menjadi hasil ijtihad ulama sebelum mereka. Karenanya umat Islam hanya bersikap menyerah dan pasrah kepada nasib.  

Faktor lainnya adalah adanya paham Jabariah dan salah paham terhadap qada (ketentuan Tuhan yang tercantum di Lauh Mahfuz/belum terjadi). Paham itu menjadikan umat Islam tidak mau berusaha dengan sungguh-sungguh dan bekerja giat. Bagi Al-Afghani, qada dan qadar mengandung pengertian bahwa segala sesuatu terjadi menurut sebab-musabab (kausalitas).

Lemahnya pendidikan dan kurangnya pengetahuan umat Islam tentang dasar-dasar ajaran agama mereka, lemahnya rasa persaudaraan, dan perpecahan di kalangan umat Islam yang dibarengi oleh pemerintahan yang absolut, mempercayakan kepemimpinan kepada yang tidak dapat dipercaya, dan kurangnya pertahanan militer merupakan faktor-faktor yang ikut membawa kemunduran umat Islam.

Ia juga ingin melihat umat Islam kuat, dinamis, dan maju. Jalan keluar yang ditunjukkannya untuk mengatasi keadaan ini adalah melenyapkan pengertian yang salah yang dianut umat Islam dan kembali kepada ajaran Islam yang sebenarnya.
Menurut dia, Islam mencakup segala aspek kehidupan, baik ibadah, hukum, maupun sosial. Corak pemerintahan autokrasi harus diubah dengan corak pemerintahan demokrasi dan persatuan umat Islam harus diwujudkan kembali. Kekuatan dan kelanjutan hidup umat Islam bergantung kepada keberhasilan membina persatuan dan kerjasama.

Pemikiran lain yang dimunculkan Al-Afghani adalah ide tentang adanya persamaan antara pria dan wanita dalam beberapa hal. Wanita dan pria sama, tidak berbeda. Keduanya mempunyai akal untuk berpikir. Ia melihat tidak ada halangan bagi wanita untuk bekerja di luar jika situasi menuntut itu. Dengan jalan demikian, Al-Afghani menginginkan agar wanita juga meraih kemajuan dan bekerjasama dengan pria untuk mewujudkan umat Islam yang maju dan dinamis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

wilujeng ngawangkong