Kamis, 15 Maret 2012

Hujjatul Islam: Imam Ath-Thabari, Sang Ulama Multidisipliner

REPUBLIKA.CO.ID, Nama lengkapnya Muhammad bin Jarir bin Yazid Ath-Thabari yang biasa dipanggil Abu Ja'far dan dikenal dengan nama Ath-Thabari karena dinisbatkan ke nama tanah kelahirannya Thabaristan.

Ia adalah seorang ahli fikih, sejarawan, ahli tafsir (mufasir) dan memahami Sunnah serta ilmu Alquran. Imam Ath-Thabari dilahirkan pada tahun 224 Hijriyah. Tempat kelahirannya di Amil, ibukota Thabaristan di Persia (Iran).

Syaikh Muhammad Sa'id Mursi dalam buku Tokoh-Tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah menggambarkan sosok Imam Ath-Thabari antara lain kulitnya berwarna coklat, badannya tegap tinggi dan matanya lebar.

Sementara Saiful Amin Ghofur dalam bukunya yang berjudul Profil Para Mufasir Alquran mendeskripsikan sosok ulama ini sebagai sosok yang rapi dan bersih dalam berpenampilan, selalu menjaga kesehatan, serta sangat disiplin.

Sepanjang hidup Ath-Thabari dilewati dengan kezuhudan yang luar biasa. Ia sedikitpun tidak terpengaruh pada kenikmatan dunia. Sikap ini dibuktikan dengan menolak tawaran jabatan penting di pemerintahan dan imbalan harta yang diberikan kepadanya.

Ath-Thabari hidup pada masa keemasan Islam, yaitu semasa pemerintahan Daulah Abbasiyah (750-1242 M) yang berpusat di Baghdad. Ketika Ath-Thabari lahir, yang menjadi penguasa saat itu adalah Al-Wasiq Billah atau Harun bin Muhammad Al-Mu’tasim yang diangkat sebagai Khalifah ke-9 (842-847 M).

Jika ditelusuri lebih jauh, selama hidupnya Ath-Thabari pernah mengalami pemerintahan 10 khalifah hingga khalifah ke-18, yaitu Al-Muqtadir yang berkuasa mulai tahun 908-934 M.

Gemar menuntut ilmu

Semasa hidupnya Ath-Thabari dikenal sebagai seorang yang haus akan ilmu pengetahuan. Ia memang memilih membujang hingga akhir hayatnya. Karena itu, ia memiliki kesempatan yang sangat luas untuk mencari ilmu. Ia berkeliling negeri mencari ilmu sendirian tanpa seorang pun teman menyertainya. Maka wajar jika ia sanggup menguasai berbagai disiplin ilmu, seperti fikih, sejarah, hadits, bahasa dan sastra.

Mengenai kecintaannya terhadap ilmu pengetahuan ini, Ath-Thabari mengungkapkan, ''Dahulu Ayahku dalam tidurnya melihat Rasulullah dan diriku membawa sekeranjang batu sedang bersama beliau. Dalam tidurnya ayahku seolah melihat diriku sedang melempar batu di hadapan Rasulullah. Lalu ahli tafsir mimpi berkata kepada ayahku, 'Sesungguhnya anak ini (Ath-Thabari), kelak jika dewasa akan memelihara syari'atnya'. Dari mimpi itulah akhirnya ayahku membiayai diriku mencari ilmu. Padahal waktu itu aku baru kanak-kanak yang masih kecil.''

REPUBLIKA.CO.ID, Doktor Muhammad Az-Zuhaili berkata, ''Berdasar berita yang dapat dipercaya, sesungguhnya semua waktu Abu Ja'far Ath-Thabari telah dikhususkan untuk ilmu dan mencarinya. Dia bersusah payah menempuh perjalanan jauh untuk mencari ilmu sampai masa mudanya dihabiskan untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Dia tidak tinggal menetap kecuali setelah usianya mencapai antara 35-40 tahun.''

Karena kecintaannya terhadap ilmu pengetahuan, maka seluruh harta benda miliknya ia habiskan untuk menempuh perjalanan jauh dalam musafir menimba ilmu, menyalin dan membeli kitab.

Untuk membiayai semua perjalanannya, pada awalnya Ath-Thabari bertumpu pada harta milik ayahnya dan harta warisan milik ayahnya. Tatkala sudah kenyang menjalani hidup dengan melakukan perjalanan mencari ilmu, Ath-Thabari memutuskan untuk tinggal menetap di satu tempat.

Ia kemudian menghabiskan sisa usianya untuk menulis dan mengajarkan ilmu yang dimilikinya kepada orang lain. Setiap hari ia mampu menulis sebanyak 40 halaman. Di antara karyanya adalah Jami al-Bayan fi Tafsir Al-Qur'an yang dikenal dengan sebutan Tafsir Ath-Thabari, Tarikh Al-Umam wa Al-Muluk yang dikenal dengan Tarikh Ath-Thabari, dan Tahdzib Al-Atsar.

Cerdas dan berakhlak mulia

Sejak usia kanak-kanak, Imam Ath-Thabari dikenal memiliki otak yang encer. Dalam buku Biografi 60 Ulama Salaf karya Syaikh Ahmad Farid disebutkan bahwa Ath-Thabari sudah berhasil menghafal Alquran saat usianya tujuh tahun, menjadi imam shalat di usia delapan tahun dan menulis hadits di usia sembilan tahun.

Di antara hal lain yang menunjukkan kepandaian dan kecerdasannya adalah kisah Imam Ath-Thabari tentang dirinya sendiri tatkala dia mampu menguasai ilmu Arudh (ilmu tentang syair atau sajak) dalam tempo satu malam.

''Tatkala aku tiba di Mesir, tidak tersisa seorang ahli ilmu pun kecuali mereka menemuiku untuk mengujikan apa yang telah dikuasainya. Pada suatu hari datang kepadaku seorang laki-laki bertanya tentang sebagian tertentu dari ilmu Arudh yang aku sendiri belum mengetahui tentang ilmu tersebut. Akhirnya, aku katakan kepadanya, Aku tidak bisa bicara, karena hari ini aku tidak akan membicarakan masalah Arudh sedikit pun. Tetapi datanglah besok dan temui aku. Lalu aku pun meminjam Kitab Arudh karya Khalil Ahmad dari temanku. Malam itu aku pelajari kitab tersebut dan pagi harinya aku telah menjadi seorang ahli Arudh,'' tutur Ath-Thabari.
 
REPUBLIKA.CO.ID, Mengenai kecerdasan yang dimiliki Imam Ath-Thabari ini Ibnu Atsir berkata, ''Abu Ja'far orang yang paling tsiqah (terpercaya) dalam mengungkap sejarah, di dalam tafsirnya sarat dengan ilmu dan legalitasnya.''

Sementara Imam Adz-Dzahabi berkata, ''Dia orang yang tsiqah, hafizh, jujur, imamnya para mufassir, fuqaha, baik ketika mufakat maupun ikhtilaf, pakar sejarah dan antropologi, mengetahui qira'ah dan linguistik.''

Karena kecerdasan yang dimilikinya ini salah seorang Khalifah dari Daulah Abbasiyah pernah memintanya untuk menulis buku fikih. Kemudian dia menulis kitab fikih dengan judul Al-Khafif. Bahkan dalam bidang fikih, pendapat-pendapat Ath-Thabari dihimpun yang kemudian dinamai mazhab Jaririyah.

Apabila Ath-Thabari diberi hadiah, maka jika dia dapat membalas hadiah itu dengan yang lebih bik, hadiah itu akan diterimanya. Namun apabila dia tidak mampu, maka hadiah itu akan ditolak dengan ramah disertai permintaan maaf kepada pemberi hadiah.

Salah seorang penguasa Abbasiyah pernah memberinya imbalan sebesar 1.000 dinar atas usahanya mengarang kitab fikih, namun imbalan tersebut ia kembalikan.

Abu Haija’ Ibnu Hamdan pernah memberikan hadiah kepada Ath-Thabari 3.000 dinar. Setelah melihat hadiah tersebut, Ath-Thabari terkagum-kagum dan berkata, ''Aku tidak bisa menerima hadiah yang aku tidak bisa membalasnya dengan yang lebih baik lagi. Dari mana aku mendapatkan uang untuk membalas hadiah sebanyak ini?''

Imam Ath-Thabari juga dikenal selalu menjauhi sikap dan perbuatan yang tidak pantas dilakukan oleh ulama. Langkah demikian itu berlangsung sampai dia menghembuskan nafas terakhirnya.

Pernah suatu ketika ia berdebat dengan Dawud bin Ali Azh-Zhahiri mengenai suatu permasalahan. Di tengah perdebatan, ia berhenti dan tidak meneruskan perkataannya, sehingga para temannya menjadi bertanya-tanya.

Dalam keadaan demikian itu, tiba-tiba salah seorang yang hadir berdiri, dengan spontan dia berkata-kata pedas dan menyakitkan yang ditujukan pada Ath-Thabari. Mendengar perkataan yang demikian itu, Ath-Thabari tidak membalasnya sedikit pun dan tidak pula terpancing memberikan jawabannya. Dengan segera ia bergegas meninggalkan tempat itu dan menulis masalah perdebatannya itu dalam sebuah kitab.

Orang-orang di sekitarnya juga mengakui kezuhudan Ath-Thabari. Dikisahkan Perdana Menteri Al-Kharqani bertaklid kepadanya, lalu ia mengirimkan uang dalam jumlah yang besar kepada Ath-Thabari. Namun, Imam Ath-Thabari menolak pemberian tersebut. Ketika Ath-Thabari ditawari kedudukan qadhi (hakim) dengan jabatan wilayah Al-Mazhalim, dia pun menolaknya.

Akibat penolakan ini, teman-teman Ath-Thabari mencelanya. Mereka berkata, ''Ketika kamu terima jabatan ini, maka kamu akan mendapatkan gaji tinggi dan akan dapat menghidupkan pengajian sunnah yang kamu laksanakan.''

Mendengar perkataan tersebut, Ath-Thabari membentak mereka seraya berkata, ''Sungguh, aku mengira kalian akan mencegahku ketika aku senang jabatan tersebut.''

REPUBLIKA.CO.ID, Imam Ath-Thabari termasuk ulama yang terbilang produktif dalam menulis. Adapun karya intelektual Ath-Thabari tidak bisa dipastikan jumlahnya.

Namun, menurut Saiful Amin Ghofur dalam bukunya yang berjudul Profil Para Mufasir Al-Qur'an, berdasarkan riwayat dari Khatib Al-Baghdadi yang diambil dari Ali bin Ubaidillah Al-Lughawi Asy-Syamsi, bahwa Ath-Thabari sudah aktif menulis selama 40 tahun.

Setiap harinya, ia mampu menulis sebanyak 40 halaman. Dengan demikian, diperkirakan selama kurun waktu 40 tahun itu ia telah menghasilkan sebanyak 1.768.000 lembar tulisan.

Namun sayangnya, tidak semua karya Ath-Thabari ini sampai ke tangan kita. Karya-karyanya terutama yang mengulas mengenai bidang hukum lenyap bersamaan dengan lenyapnya mazhab Jaririyah.

Di antara karyanya yang bisa terselamatkan adalah Jami al-Bayan Fi Tafsir Al-Qur'an yang dikenal dengan sebutan Tafsir Ath-Thabari, Tarikh al-Umam wa al-Muluk yang dikenal dengan Tarikh Ath-Thabari, Tahdzib al-Atsar wa at-Tafdhil ats-Tsabit, Ikhtilaf al-Ulama al-Amshar Fi Ahkam Syara’i al-Islam yang lebih dikenal dengan Ikhtilaf al-Fuqaha, Dzail al-Mudzil, Lathif al-Qaul Fi Ahkam Syara'i al-Islam yang merupakan kitab fikih mazhab Jaririyah, Adab al-Qudhah, Al-Musnad al-Mujarrad, Al-Qiraat wa Tanzil Al-Qur’an, Mukhtashar Manasik al-Hajj, Al-Mujiz Fi al-Ushul, dan Musnad Ibnu ‘Abbas.
Dari sekian banyak karyanya ini yang paling terkenal adalah Jami al-Bayan Fi Tafsir Al-Qur'an yang dikenal dengan sebutan Tafsir Ath-Thabari. Dalam bidang tafsir, karya Ath-Thabari ini merupakan tafsir generasi pertama yang dibukukan sehingga masih utuh hingga sekarang.

Kendati menjadi karya tafsir pertama yang dibukukan, namun tidak berarti sebelum Ath-Thabari belum ada kesadaran membukukan kitab tafsir. Perkembangan ilmu tafsir yang sangat lamban dan terpencar-pencar pada masa sebelum Ath-Thabarilah yang menyebabkan upaya untuk membukukan karya-karya tafsir ini tidak berjalan. Baru pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah gerakan pembukuan ilmu pengetahuan, termasuk tafsir, berkembang sangat pesat.

Beberapa keterangan menyebutkan latar belakang penulisan kitab Jami al-Bayan Fi Tafsir Al-Qur'an adalah karena keprihatinan Ath-Thabari terhadap umat Islam dalam memahami Alquran.

Mereka sekadar bisa membaca Alquran tanpa tahu makna sesungguhnya. Karena itulah, Ath-Thabari menunjukkan berbagai kelebihan Alquran dengan mengungkap berbagai makna hingga kelebihan susunan bahasanya seperi nahwu, balaghah, dan lain sebagainya. Bahkan jika ditilik dari namanya, kitab ini merupakan kumpulan keterangan (jami al-bayan) pengetahuan yang cukup luas meliputi berbagai disiplin keilmuan seperti qira’ah, fikih, dan akidah.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

wilujeng ngawangkong