Jumat, 27 Mei 2011

Perdamain Antara Suami Dan Istri

وَإِنِ امْرَأَةٌ خَافَتْ مِن بَعْلِهَا نُشُوزًا أَوْ إِعْرَاضًا فَلاَ جُنَاْحَ عَلَيْهِمَا أَن يُصْلِحَا بَيْنَهُمَا صُلْحًا وَالصُّلْحُ خَيْرٌ وَأُحْضِرَتِ الأَنفُسُ الشُّحَّ وَإِن تُحْسِنُواْ وَتَتَّقُواْ فَإِنَّ اللّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا 


Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Q.S. An-Nisaa : 128)

Dalam kehidupan rumah tangga, kaum muslimin mengidamkan keluarga yang sakinah, mawaddah, warrahmah. Menjalin hubungan yang harmonis antara suami dan istri (ditambah dengan hadirnya sang anak dan keturunannya). Hidup berumah tangga berbeda dengan hidup sendiri (melajang), ada suka dan duka yang dibagi berdua, mengarungi samudera munakahah dengan bahtera mawaddah, warrahmah. Namun dalam perjalanannya tak setenang air dalam kolam, ia senantiasa penuh dengan gelombang ombak dan angin kencang yang menghantam bahtera rumah tangga.

Kehidupan rumah tangga ada suka (harmonis) dan ada duka (gejolak), ada konflik yang senantiasa menghantui, apakah perasaan cemburu, rasa cinta yang berkurang, sampai kepada urusan resiko dapur (ma’isyah/nafkah) yang merasa serba kekurangan, apalagi ditambah dengan hantaman Pasar Bebas (Free Trade) saat ini yang berimbas ter-PHKnya sejumlah karyawan. Dan konflik tersebut harus bisa di atasi berdua, dan bila perlu memerlukan mediator (terutama kedua orang tua dari kedua belah pihak) yang adil, agar bisa menengahi kedua pasangan tersebut.

Dalam hal ini, Allah Swt berfirman dalam Q.S. An-Nisaa : 128, dimana Dia mengkhabarkan dan mensyari’atkan dari hal hubungan suami-istri. Sikap nusyuz bisa terjadi pada istri maupun kepada suami. Dalam Q.S. An-Nisaa ayat 34-35 yang yang disinyalir bersikap nusyuz adalah istri dan dalam Q.S. An-Nisaa : 128 yang bersikap nusyuz adalah suami. Maka jika suami yang nusyuz yakni membenci, meninggalkan istrinya, acuh tak acuh, disebabkan karena istrinya sudah tidak memuaskan lagi, sudah tua atau masalah yang lainnya, dengan cara meninggalkan tempat tidurnya, sedikit dalam memberi nafkah, dan matanya terpikat kepada wanita yang lebih cantik. Maka dalam hal ini harus dimusyawarahkan antara suami-istri tersebut, agar mencapai kesepakatan keduanya, dan kalau tidak ada titik temu antara keduanya dan sudah tidak bisa lagi di kompromikan lagi, maka jalan perpisahan/perceraian yang terakhir bila baik untuk keduanya. Walaupun memang perceraian (Thalaq) itu halal akan tetapi dibenci oleh Allah Swt, sebagaimana hadits yang diterima oleh Abdullah bin Umar ia berkata, Rasulullah Saw bersabda: “Perbuatan halal yang paling dibenci Allah ialah cerai. Maka dalam Q.S. An-Nisaa : 128 tersebut perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) daripada perceraian, nusyuz dan gejala-gejalanya.

Maka apabila Istri takut dari suaminya untuk meninggalkannya, menjauhinya, ataupun menceraikannya, maka sang istri berdamai dengan suami yakni merelakan tidak mendapat giliran 'nafkah batin' tapi tidak dicerai, agar ia tetap menerima haknya yaitu nafkah dari sang suami agar tetap bisa survive, dan hal tersebut dibolehkan, sebagaimana Asbabun Nuzul ayat tersebut. Dalam suatu riwayat dikemukakan, ketika Saudah binti Zam’ah sudah tua dan takut dicerai oleh Rasulullah Saw., ia berkata: “Hari giliranku aku hadiahkan kepada ‘Aisyah”. Maka turunlah ayat ini (Q.S. An-Nisaa: 128) yang membolehkan tindakan seperti yang dilakukan Siti Saudah. (Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Al-Hakim yang bersumber dari ‘Aisyah. Hadis seperti ini diriwayatka pula oleh At-Tirmidzi yang bersumber dari Ibnu ‘Abbas)

Dalam riwayat lain dikemukakan, ketika turun awal ayat ini (Q.S. An-Nisaa: 128), ada seorang wanita berkata kepada suaminya: “Saya rido mendapat nafkah saja darimu, dan tidak mendapat giliran, asal tidak dicerai” maka turunlah kelanjutan ayat tersebut sampai akhir (Q.S. An-Nisaa: 128) yang membolehkan perbuatan seperti itu. (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir yang bersumber dari Sa’id bin Jubair)

maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan, yakni Allah Swt membolehkan perdamaian antara suami-istri tersebut.

Wallahu’alam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

wilujeng ngawangkong