وَإِنِ امْرَأَةٌ خَافَتْ مِن بَعْلِهَا نُشُوزًا أَوْ إِعْرَاضًا فَلاَ
جُنَاْحَ عَلَيْهِمَا أَن يُصْلِحَا بَيْنَهُمَا صُلْحًا وَالصُّلْحُ
خَيْرٌ وَأُحْضِرَتِ الأَنفُسُ الشُّحَّ وَإِن تُحْسِنُواْ وَتَتَّقُواْ
فَإِنَّ اللّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا
Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak
acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan
perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi
mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan jika kamu
bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz
dan sikap tak acuh), maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa
yang kamu kerjakan. (Q.S. An-Nisaa : 128)
Dalam kehidupan rumah tangga, kaum muslimin mengidamkan keluarga yang
sakinah, mawaddah, warrahmah. Menjalin hubungan yang harmonis antara
suami dan istri (ditambah dengan hadirnya sang anak dan keturunannya).
Hidup berumah tangga berbeda dengan hidup sendiri (melajang), ada suka
dan duka yang dibagi berdua, mengarungi samudera munakahah dengan
bahtera mawaddah, warrahmah. Namun dalam perjalanannya tak setenang air
dalam kolam, ia senantiasa penuh dengan gelombang ombak dan angin
kencang yang menghantam bahtera rumah tangga.
Kehidupan rumah tangga ada suka (harmonis) dan ada duka (gejolak),
ada konflik yang senantiasa menghantui, apakah perasaan cemburu, rasa
cinta yang berkurang, sampai kepada urusan resiko dapur
(ma’isyah/nafkah) yang merasa serba kekurangan, apalagi ditambah dengan
hantaman Pasar Bebas (Free Trade) saat ini yang berimbas ter-PHKnya
sejumlah karyawan. Dan konflik tersebut harus bisa di atasi berdua, dan
bila perlu memerlukan mediator (terutama kedua orang tua dari kedua
belah pihak) yang adil, agar bisa menengahi kedua pasangan tersebut.
Dalam hal ini, Allah Swt berfirman dalam Q.S. An-Nisaa : 128, dimana
Dia mengkhabarkan dan mensyari’atkan dari hal hubungan suami-istri.
Sikap nusyuz bisa terjadi pada istri maupun kepada suami. Dalam Q.S.
An-Nisaa ayat 34-35 yang yang disinyalir bersikap nusyuz adalah istri
dan dalam Q.S. An-Nisaa : 128 yang bersikap nusyuz adalah suami. Maka
jika suami yang nusyuz yakni membenci, meninggalkan istrinya, acuh tak
acuh, disebabkan karena istrinya sudah tidak memuaskan lagi, sudah tua
atau masalah yang lainnya, dengan cara meninggalkan tempat tidurnya,
sedikit dalam memberi nafkah, dan matanya terpikat kepada wanita yang
lebih cantik. Maka dalam hal ini harus dimusyawarahkan antara
suami-istri tersebut, agar mencapai kesepakatan keduanya, dan kalau
tidak ada titik temu antara keduanya dan sudah tidak bisa lagi di
kompromikan lagi, maka jalan perpisahan/perceraian yang terakhir bila
baik untuk keduanya. Walaupun memang perceraian (Thalaq) itu halal akan
tetapi dibenci oleh Allah Swt, sebagaimana hadits yang diterima oleh
Abdullah bin Umar ia berkata, Rasulullah Saw bersabda: “Perbuatan
halal yang paling dibenci Allah ialah cerai. Maka dalam Q.S.
An-Nisaa : 128 tersebut perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) daripada
perceraian, nusyuz dan gejala-gejalanya.
Maka apabila Istri takut dari suaminya untuk meninggalkannya,
menjauhinya, ataupun menceraikannya, maka sang istri berdamai dengan
suami yakni merelakan tidak mendapat giliran 'nafkah batin' tapi tidak
dicerai, agar ia tetap menerima haknya yaitu nafkah dari sang suami agar
tetap bisa survive, dan hal tersebut dibolehkan, sebagaimana Asbabun
Nuzul ayat tersebut. Dalam suatu riwayat dikemukakan, ketika Saudah
binti Zam’ah sudah tua dan takut dicerai oleh Rasulullah Saw., ia
berkata: “Hari giliranku aku hadiahkan kepada ‘Aisyah”. Maka turunlah
ayat ini (Q.S. An-Nisaa: 128) yang membolehkan tindakan seperti yang
dilakukan Siti Saudah. (Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Al-Hakim yang
bersumber dari ‘Aisyah. Hadis seperti ini diriwayatka pula oleh
At-Tirmidzi yang bersumber dari Ibnu ‘Abbas)
Dalam riwayat lain dikemukakan, ketika turun awal ayat ini (Q.S.
An-Nisaa: 128), ada seorang wanita berkata kepada suaminya: “Saya rido
mendapat nafkah saja darimu, dan tidak mendapat giliran, asal tidak
dicerai” maka turunlah kelanjutan ayat tersebut sampai akhir (Q.S.
An-Nisaa: 128) yang membolehkan perbuatan seperti itu. (Diriwayatkan
oleh Ibnu Jarir yang bersumber dari Sa’id bin Jubair)
maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan, yakni Allah Swt membolehkan perdamaian antara suami-istri
tersebut.
Wallahu’alam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
wilujeng ngawangkong