Sabtu, 04 Juli 2009

Pemerataan Kesejahteraan dengan Zakat

Krisis global saat ini, yang bermula pada krisis ekonomi Amerika Serikat, dan berimbas keseluruh dunia, tak terkecuali Indonesia, sehingga tak ayal lagi perusahaan-perusahaan mulai kelimpungan, hingga berimbas terhadap beberapa barang-barang ekspor Indonesia kepada Negara-negara tujuan (salah satunya Amerika Serikat) sementara waktu tidak menerima, maka tidak ada pilihan lagi bagi pengusaha-pengusaha mulai “merumahkan” sebagian karyawannya, sehingga menambah daftar angka baru pengangguran, hingga mencapai jutaan orang, dan ini artinya kemiskinan di Indonesia makin numpuk.
Sebagian mayoritas penduduk Indonesia, mereka tidak lagi memikirkan barang-barang mewah (tersier) untuk dinikmati, untuk kebutuhan pokok (primer) saja harus memutar otak dan “membanting tulang” lebih keras lagi. Di lain pihak, ada segelintir orang kaya (bila dibandingkan jumlah penduduk Indonesia) mereka masih bisa berfoya-foya, mengeluarkan kocek puluhan juta rupiah dalam tempo yang sangat singkat, dengan memadati Mal-mal, bermain golf, tinggal di Real Estate, berlibur keluar negeri dengan kapal pesiar dan menikmati glamournya dunia, sehingga hedonisme menjadi sebuah tujuan hidup; dan mereka bisa menikmati fasilitas yang serba mewah, mulai dari pendidikan yang berkualitas hingga kesehatan yang terjamin.
Dalam al-Qur’an memang disebutkan bahwa antara orang kaya dan orang miskin adalah merupakan hukum alam atau sunnatullah, namun yang terjadi di Indonesia saat ini, jurang pemisah antara orang miskin dan orang kaya makin lebar, kesenjangan dan ketimpangan yang luar biasa, hingga tidak ada pemerataan kesejahteraan. Bila hal ini tak ditanggulangi, maka apa yang terjadi? Munculnya kecemburuan sosial, hingga melahirkan kriminalitas, kerusuhan dan anarkisme, yang disebabkan egoisme orang-orang kaya yang tidak peduli terhadap sesamanya. Dalam Q.s. Al-Hasyr: 7, Allah Swt berfirman: “…supaya harta itu jangan hanya beredar diantara orang-orang kaya saja diantara kamu…”.

Orang yang mengatakan dengan congkak “harta ini milikku” seperti Karun yang berkata, ”Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku” (Q.s. al-Qashash: 78), sangat berbeda dengan orang yang berkata dengan rendah hati “harta ini milik Allah yang dititipkan padaku, seperti nabi Sulaiman As yang berkata atas nikmat Allah Swt, “Ini termasuk karunia Tuhanku untuk mencoba aku apakah bersyukur atau meengingkari akan nikmat-Nya. Barang siapa yang bersyukur, sesungguhnya dia bersyukur untuk kebaikan dirinya sendiri; dan barangsiapa yang ingkar maka sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mengetahui (Q.s. an-Naml: 40)

Semua harta adalah milik milik Allah, adapun manusia tidak lebih dari sekedar tempat penitipan, yang menerima amanah dari Allah. Harta merupakan rezeki yang diatur Allah untuk manusia sebagai nikmat dan rahmat-Nya. Meski manusia dapat memaparkan satu persatu hasil usahanya, ia tidak akan mampu menghitung kekuasaan Allah dalam penciptaan atau pengadaan. Karena itu, sudah selayaknya jika manusia menafkahkan sebagian harta pemberian Allah itu untuk jalan-Nya, guna menegakkan kalimat-Nya, membantu sesama teman, dan menolong sesama hamba-Nya. Allah Swt berfirman: “…Belanjakanlah (dijalan Allah) sebagian dari rezeki yang telah Kami berikan kepadamu…” (Q.s. al-Baqarah: 254).

Dr. Yusuf Qordhawi dalam buku Norma dan Etika Ekonomi Islam mengatakan: Orang kaya yang tidak mengeluarkan hartanya di jalan-Nya mendapat hukuman dari Pemilik harta yang hakiki, yakni Allah Swt, pertama, hukuman tersebut dapat berbentuk musibah alam, seperti ditariknya kekayaan itu, Allah Swt memusnahkan harta mereka atau memindahkannya kepada orang yang lebih berhak. Dalam hal ini, Abdullah bin Umar meriwayatkan, bahwa Rasulullah Saw bersabda: “Allah memiliki kaum yang dikhususkan dengan nikmat agar bermanfa’at bagi seluruh umat manusia. Lalu ditetapkan bagi mereka apa yang diwajibkan untuk dikeluarkan. Jika mereka menahan harta tersebut dengan jalan tidak mengeluarkannya. Allah menarik harta itu dari mereka dan digantikannnya kepada orang lain” (H.r. Thabrani);

Kedua,
sanksi dari pemerintah, seperti halnya Khalifah Abu Bakar memerangi orang yang tidak mengeluarkan zakat, dinyatakan dalam sejarah bahwa negara Islam adalah negara pertama yang berperang demi kemaslahatan orang miskin; dan yang Ketiga, yang lebih pedih dan berat daripada hukuman diatas adalah hukuman akhirat. Pada hari itu Allah akan menanyakan setiap orang yang memiliki harta tentang hartanya: dari mana ia peroleh dan kemana ia salurkan? ”kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan yang kamu megah-megahkan didunia itu.”
Setiap syari’at yang ditetapkan oleh Allah dan setiap kitab yang diturunkan oleh-Nya tidak untuk kembalinya manfa’at bagi Allah, yang memetik manfa’at dan maslahat adalah hamba-hamba itu sendiri, yaitu agar manusia dapat melaksanakan keadilan. Begitupula dengan salah satu syari’at-Nya, yaitu zakat, sangat bermanfa’at dan bermaslahat bagi umat manusia. Begitu pentingnya Zakat ini, sehingga Allah Swt mengungkapkannya dalam al-Qur’an sebanyak 28x di dalam surat yang berbeda dan selalu dihubungkan dengan shalat.
Oleh karena itu, sudah saatnya orang-orang kaya “mengulurkan tangan” kepada mustahiq, yaitu dengan mengeluarkan zakat, infak dan shadaqahnya melaui Amilin atau lembaga-lembaga zakat yang berisi orang–orang kredibel, amanah, dan transparan, dengan memberikan laporan yang kontinyu kepada masyarakat. Maka dengan pengelolaan zakat yang sesuai syari’ah dan sistem yang bagus, zakat potensial untuk membantu mengentaskan kemiskinan dan pemerataan kesejahteraan. Seperti halnya pada zaman Rasulullah Saw dan para sahabat, seorang muzaki tidak mengeluarkan zakatnya kepada mustahiq secara langsung, tapi mereka selalu mengeluarkan zakat melalui amil zakat dikumpulkan di Baitul Mal, kemudian disalurkan kepada masyarakat yang membutuhkan, sehingga dalam waktu yang singkat terjadi pemerataan kesejahteraan keseluruh fakir dan miskin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

wilujeng ngawangkong