Minggu, 31 Maret 2013

Oleh-oleh (Jaulah) dari Cibuluh


Pada jum’at, 22 Maret 2013, PW.Pemuda Persis Jawa Barat mengutus penulis melakukan jaulah (bina desa) ke Pimpinan Cabang Persatuan Islam (Persis) Sukanagara, dengan alamat Kampung Cibuluh, Desa Sukakarya, jalan Kadupandak, Cianjur Selatan.
Selain mengisi pengajian umum[1] di Cibuluh tersebut, penulis sempat berbincang-bincang dengan Ketua PC, H. Rahmat dan 5 anggota Persis lainnya, terkait dengan kondisi real, dan permasalahan yang ada di PC tersebut. Berikut penulis kutip dari permasalahan disana; baik yang berkaitan dengan pribadi maupun dengan jam’iyyah.
Dari permasalahan pribadi ada 2 macam: pertama, ada kasus saudaranya yang menikahkan putranya yang menetap di Bandung dengan istri yang berdomisili di Purbalingga, dengan akad nikah di pihak laki-laki (mulung mantu), di Bandung. Permasalahannya adalah terkait dengan administrasi terhadap penghulu/pegawai KUA yang tidak biasanya, yakni calon pengantin di tarif Rp. 2.000.000 (dua juta rupiah). Maka penulis mengomentari bahwa itu merupakan salah satu masalah birokrasi di Negara kita; dalam UU segitu, tapi dalam realita dilapangan jauh lebih besar. Kalau tidak diikuti, maka biasanya prosesnya akan dipersulit.
Kedua, kasus ongkos naik haji (onh), dimana saudaranya yang sudah mendaftar, dengan daftar tunggu tahun 2015, ternyata calon haji tersebut meninggal dunia dan ia sudah menyetor sekira 35.000.000 (tiga puluh lima juta rupiah), maka atas wasiat dari almarhum, bila ia meninggal dunia, ia memohon agar uang onh tersebut disalurkan ke Panti Asuhan, anak yatim yang ia tunjuk.
Namun dalam proses pengambilan uang tersebut sangat sulit, dimana pegawai dinas yang berkaitan mencari cara untuk mempersulit pengambilan, dengan cara mengajukan persyaratan-persyaratan (tek-tek beungék), sehingga keluarga korban memakai jasa pengacara, sampai hari ini untuk sidang saja sudah menghabiskan uang Rp. 5.000.000 (lima juta rupiah), dan belum membuahkan hasil (untuk pengambilan kembali uang tersebut).
Maka penulis sarankan adalah: 1. kita harus tahu dulu UU yang berkaitan dengan kasus tersebut, agar menjadi dalil dalam persidangan, resikonya kita harus mengeluarkan kocek lagi untuk biaya persidangan dan tek-tek beungék tadi. Atau ke 2, jalan (Syetan) yang ditempuh untuk birokrasi kita adalah dengan cara menyuap, dan resikonya adalah neraka, karena ini masuk kategori riswah yang dilarang Allah Swt dan Rasulullah Saw.  “Rasulullah Saw melaknat orang yang menyuap dan yang menerima suap” (H.r. Abu Daud).
Atau cara yang ke 3, dengan cara mengirim pengajuan ke http://haji.kemenag.go.id, bila tidak ada respon, bisa mengirim ke Koran dalam rubrik pembaca atau dengan ‘curhat’ dijejaring sosial, millis grup atau blog, resikonya adalah bisa dipidanakan oleh pihak terkait, seperti yang terjadi pada Prita Mulyasari, atau kalau pihak terkait éling (sadar) atau takut atasan, uang tersebut akan kembali.
Adapun masalah yang berkaitan dengan jam’iyyah adalah sebagai berikut: pertama, daerah Cibuluh ternyata dikepung oleh berbagai aliran sempalan dan non muslim, diantaranya ada IJABI (Syi’ah), LDII, Nashrani dan lain sebagainya, yang berarti ini merupakan tantangan dakwah yang sangat berat, apalagi kelompok-kelompok tersebut didukung dengan finansial dan power (diantaranya ada yang menjadi bos perkebunan), sehingga masyarakat awam akan lebih tertarik kepada mereka, disebabkan kebutuhan hidup mereka terpenuhi, dibanding dengan kelompok yang bernafaskan al-Qur’an dan al-Hadis.
Permasalahan kedua adalah anggota dan simpatisan Persis harus membagi waktu antara jam’iyyah dan Maisyah, disinilah problemnya, ketika anggota bekerja di pabrik (perkebunan) yang dikuasai oleh aliran sempalan atau non muslim, maka ditakutkan aqidah harus goyah dengan iming-iming kebutuhan hidup,  maka untuk mensiasatinya, mereka harus bekerja diluar daerah, seperti di Bandung, hingga anggota disana harus ‘meroling’ dengan anggota yang lain, antara mencari nafkah dan menghidupkan jam’iyyah.
Oleh sebab itu Ketua PC meminta agar jam’iyyah, khususnya masjid dan madrasah terurus dengan tidak menelantarkan anak-istri. Walaupun demikian, Alhamdulillah sampai saat ini kegiatan pengajian sehabis jum’atan dan pengajian bulanan yang dibina langsung oleh PW masih tetap berjalan, serta pembinaan anak-anak di madrasah masih bisa dilaksanakan, namun itu juga gurunya harus pulang pergi keluar daerah, untuk mencari nafkah, yakni 3 bulan ia mengajar, dan 3 bulan berikutnya bekerja di Bandung, untuk menutupi kebutuhan hidup 3 bulan berikutnya.
Demikian oleh-oleh  jaulah dari Cibuluh, mudah-mudahan masyarakat Cibuluh khususnya tetap istiqomah menjalankan aqidah dan Ibadah yang selaras dengan Qur’an-Sunnah dengan tidak menafikan keberadaan ekonominya. Mudah-mudahan tulisan ini menjadi fasilitator para aghnia agar menyalurkan infak dalam bentuk pembangunan ekonominya; bisa dengan menanam modal disana dengan berbagai hasil perkebunan, supaya menjadi mata pencaharian masyarakat disana. Dengan begitu mereka tidak harus pergi keluar daerah untuk mencari nafkah, dengan begitu pula mereka bisa menghidupakan jam’iyyah.



[1] Penulis mengambil tema : “Ibrah Sirah Nabawiyah, Upaya Menghidupkan Qur’an-Sunnah dalam Bingkai Jami’yyah”

1 komentar:

wilujeng ngawangkong