Jumat
(7/11/08) pekan lalu almarhum Muhammad Natsir mendapat anugerah gelar
pahlawan nasional dari Pemerintah Republik Indonesia. Tokoh Partai
Masyumi yang pernah menjadi menteri penerangan dan perdana menteri (PM)
itu diakui sebagai tokoh yang berjasa luar biasa dalam membangun dan
mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pada umumnya
masyarakat melihat jasa terbesar Natsir adalah kegigihan dan
keberhasilannya mengembalikan Indonesia menjadi negara kesatuan (1950)
setelah sempat dijadikan negara federal melalui Konferensi Meja Bundar
(KMB) pada 1949. Mosi Integral Natsir yang dipidatokannya di parlemen
pada 3 April 1950 dianggap sebagai bukti peran besarnya dalam
mengembalikan Indonesia menjadi negara kesatuan.
Isi Mosi Integral
Kalau
kita baca, naskah Mosi Integral Natsir tersebut sebenarnya sama sekali
tidak memuat ajakan untuk kembali ke negara kesatuan. Bahkan, dalam
pidatonya Natsir berkali-kali menegaskan bahwa mosinya tidak berhubungan
dengan kontroversi tentang negara kesatuan dan negara federal. Natsir
menegaskan bahwa pihaknya “menjauhkan diri dari pembicaraan soal
unitarisme dan federalisme.” Sebenarnya yang diperjuangkan Natsir
melalui mosinya itu adalah “persatuan bangsa,” bukan “negara kesatuan.”
Persatuan (integration) menyangkut sikap (kejiwaan) setiap warga negara
untuk merasa terikat dalam satu ikatan sebagai satu bangsa, sedangkan
negara kesatuan (unitarisme) adalah konsep struktur ketatanegaraan yang
biasanya dibedakan dengan negara serikat (federalisme).
Persatuan
bisa ada dan tumbuh kuat baik di dalam negara kesatuan maupun di dalam
negara federal. Amerika Serikat, Jerman, dan Malaysia adalah negara
federal yang persatuannya sangat kukuh; sebaliknya Inggris dan Filipina
adalah negara kesatuan, tetapi persatuannya tidak sekukuh Amerika karena
masih sering diganggu oleh perpecahan akibat gerakan separatis.
Minimal ada dua masalah pokok yang terkandung dalam Mosi Integral Natsir. Pertama,
kritik keras terhadap pemerintah yang bersikap defensif dan sepertinya
membiarkan rakyat mencari penyelesaian sendiri tanpa bimbingan atas
masalah-masalah yang dihadapi. Kedua, perlunya penyelesaian
“integral” atas masalah-masalah serius yang sedang menimpa bangsa
Indonesia pada saat itu. Natsir mengkritik pemerintah karena setelah KMB
(Konferensi Meja Bundar) yang menyepakati perubahan bentuk negara
kesatuan menjadi negara federal sebagai syarat pengakuan kemerdekaan
oleh Belanda, ternyata pemerintah kita bersikap pasif atau defensif.
Padahal, akibat KMB itu di daerah-daerah timbul pergolakan yang ditandai
dengan banyak demonstrasi dan resolusi untuk merombak segala apa yang
dirasakan rakyat sebagai restan-restan dari struktur kolonial.
Sayang,
kata Natsir, (saat itu) pemerintah hanya mengatakan “terserah rakyat”
karena Indonesia adalah negara demokrasi. Natsir geram dengan sikap
pemerintah itu karena dengan pernyataan “terserah rakyat” sama halnya
dengan membiarkan terjadinya konflik di antara rakyat sendiri. Kata
Natsir, sikap seperti itu justru menunjukkan pemerintah hanya ingin
mencari selamat dan tidak bertanggung jawab.
Oleh
sebab itu, melalui mosinya yang sangat monumental tersebut Natsir
mengusulkan agar ada penyelesaian menyeluruh sebelum negara hancur.
Natsir mempersoalkan sikap defensif pemerintah yang selalu berlindung di
bawah pernyataan “terserah kepada kehendak rakyat” itu. Dia bertanya,
“apakah menyerahkan kepada rakyat itu berarti mengadu tenaga rakyat di
daerah, untuk memperjuangkan kehendak rakyat masing-masing dengan segala
akibat dan ekses-eksesnya? Habis itu lantas kita mengonstatasi dan
melegalisasi hasil dari pergolakan itu?”
Tanpa
harus dikaitkan dengan bentuk negara kesatuan, Mosi Integral Natsir
tersebut masih sangat relevan untuk dijadikan landasan membangun
persatuan kita sebagai bangsa. Memang, saat ini tantangan utama kita
bukanlah adanya gejala kuat tentang federalisme seperti yang pernah
digalang van Mook yang kemudian melahirkan Republik Indonesia Serikat.
Pilihan kita atas bentuk negara kesatuan sudah selesai ketika kita
menerjemahkan Mosi Integral Natsir dengan kembali ke negara kesatuan
pada 1950 yang kemudian dimantapkan lagi dalam UUD 1945 hasil amandemen.
Ancaman Masa Kini
Pada
saat ini ancaman bagi “integrasi” negara kita bukan lagi masalah
federalisme ala van Mook, melainkan tidak tegaknya supremasi hukum dan
keadilan yang ditandai oleh maraknya judicial corruption. Tantangan
ini tidak boleh disepelekan. Sebab, kalau kita tidak dapat menanganinya
secara baik, ia akan mengancam integrasi kita sebagai bangsa dan
negara. Jika ketidakadilan dan judicial corruption terus berlangsung,
pikiran untuk bersikap tidak akan tunduk atau memisahkan diri dari
pemerintahan dan ikatan satu bangsa bisa saja muncul dari kalangan
rakyat.
Bibit-bibit
atau indikasi tentang ini sudah tumbuh meskipun kita masih dapat
mengendalikannya. Langkah paling penting untuk menghempang disintegrasi
adalah penegakan hukum dan keadilan tanpa pandang bulu, terutama
pemberantasan judicial corruption yang saat ini sangat menggila. Masalah
korupsi, seperti yang terungkap dalam kasus-kasus yang sedang ditangani
KPK saat ini, bukan hanya membuat kita marah, tetapi juga malu. Bahkan,
informasi yang terungkap dari penyadapan telepon para tersangka
koruptor membuat kita merinding, muak, dan jijik. Kalau negara ini ingin
selamat dengan keutuhannya, kita harus secepatnya membangun kepercayaan
rakyat dengan menindak tegas tersangka koruptor tanpa kolusi dan
sungkan-sungkan lagi. Jadi, ancaman serius bagi kita sekarang ini bukan
gejala federalisme, melainkan merajalelanya korupsi.
Yang
juga relevan untuk diambil dari Mosi Integral Natsir saat ini adalah
seruannya agar pemerintah tidak bersikap ragu dan mendua, tidak defensif
dan pasif dengan kedok “terserah rakyat” untuk mengambil
langkah-langkah yang diperlukan, melainkan harus mengambil inisiatif dan
langkah yang tegas. Tegasnya, pemerintah harus selalu berani mengambil
inisiatif dan langkah yang tegas, dan tidak ragu untuk menyelesaikan
masalah-masalah yang dihadapi bangsa dan negara.
Sumber : Mahfud Md
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
wilujeng ngawangkong